Jumat, 29 April 2011

Musical Heart : Cagni #3

Agni mengaduk minumannya nggak bersemangat. Agni sekarang sedang berada di sebuah café entah apa namanya untuk menenangkan diri sejenak. Hanya sendiri, duduk sambil memandang iri muda-mudi yang berlalu-lalang didepannya.


“andai gue kayak mereka.” gumam Agni.

Sudah hampir seminggu semenjak hari dimana dia memaki Cakka di tengah lapangan. Cakka langsung merubah sikapnya pada Agni. Cakka jadi cuek dan nggak peduli lagi sama Agni. Senggaknya mungkin itu memang yang Agni harapkan. Mungkin!

Agni menerawang di saat dirinya bersama Cakka. Saat awal Cakka mengejarnya, puluhan kali menyatakan Cinta padanya dan akhirnya Agni mau menerima Cakka. Saat indah yang dulu pernah dia lalui bersama Cakka sampai saat Oik datang dan semua hancur berantakan.

Agni tersenyum miris. Dia nggak pernah menyalahkan Oik atas semua ini. Bagi Agni yang harusnya di salahkan itu Cakka! Dia yang serakah, dia yang plin-plan, dia yang nggak konsekuen dan dia… intinya Cakka yang salah!

“hai, Ag?” seorang cewek membuyarkan lamunan Agni.

Agni tersentak, kaget dia. Kaget banget! “eh! Hai, Ik?” Agni menetralisir rasa kagetnya. “hai juga, Kka?” sapa Agni kikuk. Kagetnya tadi karena ada Cakka disamping Oik?!

“boleh gabung?”

“silahkan!”

Cakka-Oik mengambil tempat duduk di depan Agni. Mereka berdua duduk bersampingan tapi Cakka yang hadap-hadapan sama Agni. Agni sebenarnya mau pindah kebangku sebelahnya, tapi kesannya ntar malah nggak sopan dan kesannya Agni masih gimana gitu sama Cakka. Meski pun memang!

Pesanan yang tadi Cakka-Oik pesan pun datang. Mereka berdua hanya memesan ice cream ternyata. Dengan sedikit berbincang-bincang pada Agni dan selebihnya Cakka-Oik ngobrol berduaan. Agni sebenarnya nggak enak hati. Selain Agni akui dia cemburu, dia juga nggak pengen jadi peganggu.

“Cakka, bibirnya celemotan tuh!” Oik terkikik geli sambil membersihkan lelehan ice cream di sekitar bibir Cakka.

Agni tertegun. Menyaksikan adegan Cakka-Oik, seperti menyaksikan adegan kebahagiaannya dulu. Kebahagiaan saat Cakka masih miliknya. Agni lebih memilih menunduk, bohong kalo dia nggak cemburu! Kalo bisa Agni pasti sudah menarik tangan Cakka pergi dari sini, tapi apa haknya sekarang?

“gue sudah selesai, gue duluan ya?” Agni berdiri kemudian pamit pada Cakka-Oik. Nggak tahan kalo lama-lama ngeliat Cakka sama Oik.

“kenapa? Lo nggak sanggup ngeliat gue bedua Oik?”

Cakka memandangi Agni dengan tajam. Cewek penuh gengsi sekuat batu karang. Dia tau Agni pasti cemburu. Ngaku aja kenapa sih? Balikan? Bahagia?! Itu yang Cakka harapkan. Berharap Agni membuang jauh gengsinya.

Agni membeku dihadapan Cakka-Oik. Kalo memang dirinya nggak memiliki harga diri, mungkin saat ini Agni sudah berteriak kalo dia bener-bener cemburu. Agni nggak tau apa hubungan Cakka-Oik, tapi dari bahasa tubuh yang mereka perlihatkan. Mereka pasti lebih dari teman. Lagi!

Agni tersenyum miring. “gue nggak ada hak!” balas Agni. Hanya itu yang bisa dia katakan, hanya kenyataan.

Cakka ikut berdiri dan kini mereka berhadap-hadapan. “berhenti mentingin gengsi Lo! gue tau Lo masih ada rasa sama gue!”

Agni terkekeh. “berhenti nganggap gue sama kayak mantan Lo yang lain!”

Sudah betul-betul hilangkah tempat untuk Cakka dihati Agni? Sudah selesaikah cerita tentang mereka? Sudah tertutupkah celah untuknya? Sebegitu bencikah Agni padanya?!

“ayo, Ik! kita pergi dari sini!” Cakka menggandeng tangan Oik dan pergi meninggalkan Agni.

Dalam diam Agni menatap punggung Cakka yang menghilang di telan kerumunan orang-orang banyak, meratapi nasib cintanya yang begitu tragis dan memaki diri sendiri atas gengsi yang terlalu dia junjung tinggi.

Gue cinta dia! Tapi …

***

Bagai dua sisi koin yang berbeda, masih satu tapi memiliki dua sisi yang berbeda. Itulah Cakka yang sekarang. Masih seorang  Cakka, hanya saja dia seperti punya dua kepribadian yang berbeda. Cakka yang baik, care sama Cakka yang cuek, dingin. Hanya untuk Agni perumpamaan koin itu berlaku.

Agni berlari sambil memantulkan bola basketnya. Ini jam ekskul, tapi nggak ada seorang pun di lapangan. Sepi! Ekskul nggak sih? Kok gue nggak di kasih tau? Pikir Agni.

“hoy, Ag!” sapa seseorang di pinggir lapangan.

“eh, Day? Kok nggak ada yang ekskul sih?” Agni menghampiri Dayat yang tadi menyapanya. Masih sambil memantulkan bola yang di pegangnya.

“anak-anak kan memang nggak latihan. Lo nggak tau?” tanya Dayat. Agni menggeleng. “Cakka nggak ngasih tau Lo?” Agni tersentak lalu menggeleng lagi.

“kenapa gue nggak di kasih tau?”

“Cakka yang ngasih tau anak-anak. Mana gue tau kalo Lo belum tau!” balas Dayat. “eh, Ag! Gue balik ya. Ribet bawa nih laporan OSIS mau di periksa.” Dayat pamit. Dayat tadi mungkin habis ng-OSIS. Ketua selalu pulang terakhir.

Agni menggangguk. “oke!”

Sepeninggal Dayat, Agni merenung. Cakka? Cakka? Cakka? Kenapa Cakka nggak ngasih tau Agni? Kenapa Cakka nggak ngasih tau gue kalo ini hari nggak latihan? Seenggaknya Cakka bisa nyuruh siapa aja buat ngasih tau gue. Sebegitu bencinya Cakka sama gue sekarang?

Rintik hujan mulai membasahi bumi. Lapangan tempat Agni bermain pun lama kelamaan mulai basah. Agni nggak bergeming. Rintik hujan berganti menjadi hujan deras. Agni masih nggak bergeming. Pikirannya melayang, menerawang…

Agni melangkahkan kaki nya ke tengah lapangan. Memberikan dirinya pada hujan. Berharap hujan bisa meluruhkan penyesalannya, meluruhkan rasa ragunya, dan mungkin berharap hujan meluruhkan rasa cintanya pada Cakka!

“kasih gue jawaban!” Agni menengadah menghadap langit. Membiarkan hujan mengguyur wajahnya.

Hujan tambah deras saat Agni mulai jatuh terduduk di tengah lapangan. Bola basketnya entah menggelinding kemana. Agni nggak peduli! Cakka-Oik, bergantian berputar di kepalanya. Bibir Agni memucat, badanya pun mulai menggigil kedinginan.

“gue nggak sanggup!” lirih Agni.

“ayo pulang!” seseorang mengulurkan tangannya pada Agni. Agni menengadah untuk melihat siapa orang itu.

“nggak usah! Gue masih mau di sini!”

Cakka, orang itu menatap Agni sendu. Biarkan sekali gue nolong Lo! biarkan sekali gue ada buat Lo! biarkan sekali gue liat Lo tanpa gengsi Lo itu! biarkan gue ngeliat Lo apa adanya! Bukan Lo yang sok kuat! Bukan Lo yang sok tegar! Bukan Agni yang munafik!

Cakka ikut berhujan-hujanan dengan Agni. Menemani Agni melawan hujan. Ikut pasang badan menyambut hujan. Agni masih duduk dan menunduk. Cakka perlahan ikut berlutut di depan Agni. Mengangkat sedikit wajah Agni untuk melihat paras mantannya yang tersayang ini.

Agni menatap mata Cakka di tengah guyuran hujan. Mata itu seakan memberi tau Agni ada kesedihan yang mendalam di sana. Rasa sakit dan juga kesakitan luar biasa yang merobek hatinya. Agni seperti merasakan kesedihan itu. kesedihan dan kesakitan hati Cakka.

 “ayo pulang!” kali ini Cakka memerintah, bukan lagi meminta. Cakka langsung menarik tangan Agni untuk berdiri.

“gue bisa sendiri!” Agni melepas pegangan Cakka kasar. Menyesal! Gue nyesal kasar sama Lo! sesal Agni dalam hatinya.

Cakka membiarkan saja perlakuan Agni padanya. Biarkan Agni selamanya membencinya. Biarkan Agni selamanya sembunyi di balik tembok kebohongannya. Biarkan Agni tau rasanya tersiksa. Gue akan kasih tau Lo rasanya!

“aa…” Agni hampir terjatuh jika nggak cepat Cakka menangkap badan Agni dari belakang. Lebih tepatnya memeluk Agni dari belakang.

“tolong! Tolong biarkan sebentar kita begini!” pinta Cakka lirih. “biarkan gue nganggap Lo milik gue, sebentar!”

Agni terpaku, membeku. Kenyataannya, jika Cakka nggak meminta pun Agni juga nggak akan melepaskan pelukan Cakka. Untuk sebentar pula, Agni membuang jauh gengsi nya dan membuka hati nya lebar-lebar untuk Cakka. Hanya sebentar!

“maaf!” Cakka seperti baru tersadar dari perlakuannya barusan dan cepat-cepat melepas pelukannya.

Maaf? Percaya deh, Agni sakit ngedengar kata itu keluar lewat bibir Cakka?

***

Agni menghempaskan badannya diatas tempat tidur. Menutup mata menahan rasa sakit juga perih yang melandanya. Meluapkannya dengan mengeluarkan air mata, berharap air mata bisa mengurangi rasa sakit dan perih di hatinya.

Ketukan-ketukan dari luar kamar Agni saling bersaut bergantian, mulai yang iramanya cepat sampai pelan. Pembantu rumah Agni mungkin khawatir melihat sang anak majikan pulang dengan mata merah dan basah kuyup.

“Agni nggak pa-pa kok, Bi!” seru Agni. Suaranya serak menyatakan kebohongan.

Agni memejamkan matanya kuat-kuat, menahan air mata yang nggak ada hentinya keluar. Dari luar sang bibi pembantu Agni nggak lagi mengetuk, mungkin sang bibi tau Agni ada masalah dan mau sendiri dulu.

Perlahan mata Agni benar-benar berat, nggak peduli kondisinya yang masih basah kuyup. Agni tertidur pulas di tempat tidurnya. Berharap saat dia bangun segalanya hanya mimpi buruk dan bakal berganti dengan kenyataan indah masa dulu.

***

Hari ini ruang kelas Cakka di kelilingi banyak anak-anak yang ingin menyaksikan penampilan Cakka. Kelas Cakka hari ini kebagian pelajaran seni budaya yang materinya bernyanyi, hanya saja untuk yang bisa memainkan alat musik di perbolehkan untuk mengiringi sendiri.

Petikan gitar Cakka membuka penampilannya. Semuanya diam terhenyak mendengar alunan gitar Cakka. Setelah intro, suara Cakka pun mulai terdengar. Lagi-lagi semua pendengar memasang kuping baik-baik mendengar suara Cakka.

Cakka bernyanyi penuh penghayatan. Dapat di ketahui dari matanya yang terpejam serta suara dan alunan gitarnya yang terdengar miris sesuai perasaan hatinya.

“kembalilah… wahai sayangku hanya itu yang membuat aku tenang!”

Andai seseorang tau untuk siapa lagu ini sebenarnya dia alunkan. Lagu permohonan untuk kembali padanya. Kembali ke pelukannya. Kembali pada seorang Cakka Nuraga. Cowok dengan predikat playboy yang melekat erat pada namanya.

Tepuk tangan dan riuh suitan menyoraki petikan akhir gitar Cakka. Pujian nggak henti-hentinya di lontarkan dari bibir orang-orang di sekitarnya tapi Cakka nggak butuh semua itu! dia butuh harapan sesuai lagunya tadi.

Cakka menghela nafas, andai Agni tau lagu itu untuknya. Di depan pintu kelas berkumpul banyak anak yang tersenyum pada Cakka. Cakka sedikit menyunggingkan senyum pada salah satu anak di antara anak-anak yang lain. Oik, dia ada di salah satu barisan anak-anak yang menonton penampilan Cakka.

Senyum yang malah kesannya terpaksa dan nggak ikhlas. Mata Cakka langsung-langung beralih pada sesosok cewek di belakang Oik. Cewek berjaket dan mengenakan topi. Cakka tau siapa orang itu. perlahan Cakka tersenyum simpul. Agni, Agni tadi liat penampilan dia.

Agni tau penyamarannya ketauan langsung menyerobot keluar. Menjauh dari kerumunan didepan pintu kelas Cakka. Cakka tadi ngeliat dia, Agni tau, Agni merasakan. Taman belakang, tempat pelarian Agni yang utama.

Agni membayangkan wajah Cakka yang tersenyum. Apa tadi Cakka tersenyum padanya? Tersenyum pada seorang Agni yang telah menyakitinya? Atau tersenyum pada gadis yang tadi ada di depannya? Tersenyum pada sang mantan, Oik?

“telah habis kata… terangkai… untuk membuat mu…” terdengar suara yang nggak asing bagi Agni dari arah belakang. “ kembali mengingat… semua… apapun janji mu…”

Agni tau siapa itu. dia tau suara itu dan dia tau petikan gitar itu. Cakka! Cakka kembali mengalunkan lagu yang tadi dia tampilkan di kelas. Perlahan Cakka maju mendekati Agni yang membelakanginya. Agni seperti nggak menggubris kehadiran Cakka dan menganggapnya nggak ada.

Cakka terus bernyanyi dari lirik awal hingga akhir. Lagu itu seolah menjadi pemberitahuan tentang suasana hatinya. Lagu Tak Bisa Hidup Tanpa Mu! Agni coba untuk memahami maksud Cakka, maksudnya menyanyikan lagu itu.

Cakka sudah berdiri tegak di depan Agni. Memandangi mantan kesayangannya yang menunduk seperti enggan memandanginya. Cakka meletakan gitarnya di atas rumput taman, berlutut tepat di depan Agni. Agni terkejut melihat kelakuan Cakka. Apa lagi ini?

“sekali aja, Ag! Jujur sama gue!” kata Cakka pelan. Suaranya terdengar lelah.

Agni diam membisu. Kejujuran apa yang harus dia katakana? Jujur kalo Agni rela putus dari Cakka? Jujur kalo Agni rela Cakka sama Oik? Jujur kalo Agni cemburu ngeliat Cakka dekat sama Oik? Jujur kalo Agni… kalo Agni sebenarnya masih cinta sama Cakka??

Cakka memandang Agni sayu. Begitu mahal kah suara Agni untuk dia dengar. Sepatah kata pun enggan Agni ucapkan. Walau pun yang Agni ucapkan hanya ‘nggak ada’ mungkin dengan kata-kata itu bisa sedikit mengobati rasa rindu Cakka. Tapi sayang Agni nggak mengucapkan apa-apa.

Cakka menggenggam tangan Agni. Agni mencoba menarik tangannya namun urung karena Cakka malah mengecup punggung tangan Agni. Sehabis itu, Cakka balik menatap Agni tepat di manik matanya. Hanya mereka yang tau perasaan masing-masing.

Cakka-Agni diam. Mungkin terlihat tenang, tapi apa ada yang tau? Kalo sebenarnya, kenyataan nggak pernah sesuai dengan apa yang ada. Nggak ada yang tau perasaan Cakka-Agni sebenarnya. Di luar mungkin tenang, tapi di dalam…

“aku sayang sama kamu, Ag!”

Lidah Agni serasa kelu saat mendengar kata-kata itu keluar dari bibir Cakka. Kata-kata yang bisa membuatnya melayang kalo saja bukan begini kondisinya saat ini. Cakka putus asa, reaksi Agni masih sama seperti sebelumnya. Diam!

Cakka melepas genggamannya, berdiri. Mungkin dia harus menerima nasipnya dengan lapang dada. Gadis di depannya ini bukan lagi gadisnya yang dulu, tapi sudah berubah menjadi mantan gadisnya yang sekarang! Cakka beranjak pergi, dan mungkin akan berhenti mencari celah untuknya dari hati Agni.

Kini Agni sendiri, diam membisu nggak bisa ngapa-ngapain. Matanya tertuju lurus ke depan, tapi entah apa yang dia lihat. Tatapan Agni kosong! Hatinya butuh seseorang, seseorang yang seperti Cakka!

Agni meraih gitar Cakka yang tadi tergeletak di atas rumput. Ketinggalan. Pikir Agni. Agni memangku gitar milik Cakka itu. gitar yang dulunya nggak asing baginya, bisa di bilang gitar bersama antara Cakka dan dirinya. Gitar kesayangan keduanya.

Agni memetik gitarnya perlahan. Suasana hatinya terlihat jelas dari petikan gitarnya. Cakka nggak pernah tau rasanya Agni. Cakka nggak pernah tau gimana perasaannya Agni. Cakka nggak pernah tau semua tentang Agni! Cakka nggak pernah tau!! Cakka nggak pernah tau, kalo Agni sebenarnya…

Kamu tak tau…
Rasanya hatiku…
Saat berhadapan kamu…
Kamu tak bisa…
Bayangkan rasanya jadi diriku…
Yang masih cinta…
( Kotak - Masih Cinta )

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar