Minggu, 25 Desember 2011

APMD

"APMD"

Aku Patut Membenci Dia

***

Pagi ini pagi yang cerah dihadapan Via. Namun pagi cerah yang sangat berat dan menyedihkan baginya. Hanya bisa duduk pasrah di salah satu bangku taman dan menatap miris ke depannya. Senyum sumbang turut menyertai wajah muramnya. Dia kedinginan dan juga pucat.

“Vin, kamu berubah tau nggak!”

Alvin mendengus dan menatap pacarnya jengah. “aku berubah apa sih, Vi? Aku nggak berubah! Apa kamu mau aku yang berubah?”

“kamu berubah, Vin!” ucap Via lirih, Alvin baru saja membentaknya. “dan aku nggak mau kamu berubah!”

Pagi mulai menampakan matahari yang tadi masih tenggelam di ufuk barat. Dia masih bertahan di sana. Berpikir. Menentukan antara kemungkinan juga kenyataan. Memilih antara melepaskan atau memaksakan. Dia menangis. Via menangis.

“aku cinta kamu, Vin!”

Via beranjak. Melangkahkan kakinya berat meninggalkan pagi. Pergi untuk menangisi takdirnya. Takdir hidup juga cintanya.

“Vi, Alvin Lo itu nyebelin banget sih! Heran deh! Lo masih aja tahan sama dia!” omel Shilla pada Via. Pagi itu di sekolah. “gue tadi nyapa dia. Eh, malah di cuekin!”

Via tersenyum, menutup buku yang dibacanya lalu memandang wajah kesal Shilla. “Alvin emang gitu. Tapi dia nggak cuek sama gue kok!” bela Via, Alvin pacar Via.

“yang gue liat nggak gitu tuh!” Shilla mencibir. “Via! Dia itu bahkan nggak nganggap Lo ada! Dia anggap Lo saat dia butuh, setelah itu Lo nggak ada lagi!” cerca Shilla.

Via menatap Shilla aneh. “Lo kenapa sih? Cemburu? Lo selalu aja ikut campur urusan gue sama Alvin!” Via membuncah, Shilla terlalu sering mengomentari hubungannya dengan Alvin. “atau jangan-jangan Lo suka sama Alvin? Iya?” balas Via membentak.

Shilla tersentak dan diam kemudian. Via memandang Shilla nggak percaya. Diam berarti iya! Dan berarti iya, kalo Shilla suka sama Alvin! Mata Via berkaca-kaca, sesuatu yang basah akan segera turun dari pelupuk matanya.

“Lo suka Alvin, Shill? itu sebabnya Lo kemaren nyuruh gue putus sama Alvin?” airmata mulai berlinang membasahi pipi lembut Via. Dia menangis, kembali menangis. “Lo nyuruh teman Lo mutusin pacarnya biar Lo bisa lebih luasa ngerebut…”

“nggak, Vi! Lo salah! Gue Cuma bercanda kemaren, nggak ada maksud apa-apa! Lo salah paham.”

“Lo mau ngerebut Alvin dari gue! Gue kecewa sama Lo!”

Pagi silih berganti menjadi siang. Dia berjalan tak tentu arah membiarkan sinar mentari menyengat kulit putihnya. Dirinya tak lagi berharga. Dan dia tak lagi berarti. Dan dia kembali menangis. Kenapa ini harus menimpanya? Menimpa Via?

“kalo Via tau gimana? Aku nggak mau Via ngemusuhin aku, Vin! Gimana juga Via itu teman ku.” Shilla memandang Alvin yang tengah menatapnya. Alvin tersenyum, senyum tipis meremehkan sesuatu. “aku juga nggak mau Via mutusin kamu.”

“Via nggak bakal ngemusuhin kamu, juga nggak bakal mutusin kamu! Jadi kamu tenang aja.” ujar Alvin yakin, tangannya merangkul Shilla dan memeluknya dari samping erat.

“aku cinta kamu, Vin!”

Panas masih saja tanpa ampun menyengatnya, tapi dia tak merasa panas atau pun lelah dalam perjalanannya. Dia malah kedinginan, sangat kedinginan. Mengingat saat-saat manisnya terdahulu malah membuat bibir merahnya membiru. Kenangan itu menyakitkan.

“eh? ini buku gue duluan yang pegang!”

“heh! Tapi gue duluan yang mau beli!”

“heh Sipit, gue megang duluan! Berarti gue mau ngebeli ini buku!” Via menarik buku yang di pegangnya namun juga di pegang oleh cowok di hadapannya. “lepas! Gue mau ngebayar ke kasir noh!”

Alvin, cowok itu memandang Via dan tersenyum padanya. Via heran. “nggak usah sok imut! Buru lepas bukunya, gue deadline nih!”

“gue bakal ngelepas buku ini, tapi gue harus dapat penggantinya.”

“apa?” sahut Via nggak sabar.

Alvin mendekat pada Via dan menatapnya tepat di manic mata. “jadi pacar gue ya?”

“eh?” Via terkejut lalu menggeleng. “gue nggak ada waktu buat ngikutin permainan gila Lo!” Via merampas buku itu dan dengan cepat berbalik pergi.

“Lo pacar gue sekarang!”

Kebahagiaan yang dulu kini tinggal kenangan. Membawa bayangannya terbang dan terlupakan. Membawa tentangnya melayang dan terabaikan. Dia berhenti. Terhenti. Bagaimana pun dia, rasanya masih sama. Sakit.

“Vin, hari ini kita jadi ke toko…”

“aku mau ngurus sesuatu dulu, penting! Ke toko bukunya besok aja. oke?!” Alvin berlalu pergi tanpa menunggu balasan Via di hari itu. lagi-lagi Alvin ingkar.

Sedih Via rasakan, dirinya terabaikan dan kini sakit tak terperi seakan menggores hati kecilnya. Itu penghianatan cinta juga kemunafikan sahabat. Alvin pergi menggandeng Shilla.

Terik mentari sedikit memudar berganti semilir angin yang berhembus sejuk. Menguraikan rambut hitamnya. Memperlihatkan wajah cantiknya yang sayu namun memucat. Via masih terus melangkah entah kemana jalan membawanya. Kemana pun asal jauh dari semuanya.

“Lo ada hubungan apa sama Shilla, Vin?! Lo pacaran?” cerca Via nggak sabar yang baru pulang kerumahnya. Rumah Alvin.

Alvin melengos, lelah. “kamu ngapain di sini?” tanya Alvin sebaliknya.

Via menangis. “aku cinta kamu, Vin! Aku di sini karena aku cinta kamu!” isak Via yang mulai menangis di hadapan Alvin. “kamu berubah! Dan sekarang aku tau itu gara-gara Shilla!”

“Vi,”

“kamu dengar aku ya, Vin! Aku benci Shilla! Aku benci sama dia! Bencii!!!” Via berteriak histeris pada Alvin lalu pergi berlari keluar.

Via nggak lagi bisa menahan semuanya. Kepura-puraannya yang berharap kesadaran pacar juga sahabatnya sendiri sama sekali tak di indahkan. Mereka ingkar, bohong dan berhianat.

“Via?” Shilla tercekat saat bertemu Via di depan rumah pacarnya. Pacar Via juga!

Via berhenti dan memandang wajah Shilla benci. Sangat benci! Tapi… Shilla sahabat Via?

“kita sahabat selamanya ya, Vi? Kalo kamu butuh aku, aku bakal selalu ada di sebelah kamu…”

“aku juga, aku juga akan selamanya jadi temen Shilla. Kita sahabat selamanya!”

Jari kelingking keduanya bertaut, tanda itu adalah sebuah perjanjian. Perjanjian penting yang di pegang teguh dan sekarang terlupakan!

“gue benci sama Lo!” seru Via disela isakannya. “Lo bukan lagi sahabat gue! Gue benci sama Lo!!”

Angin berhembus kencang saat Via kembali menangis, lagi-lagi menangis. Angin seakan ingin mengusap tetesan air mata yang mengalir dipipinya. Terus berhembus seakan berkata dia tak perlu menangisi kisah cintanya.

Namun nggak bisa rasa sakit itu kini bercampur dengan rasa bencinya. Rasa sakit tiada terperi kini menerjang hatinya membuatnya ingin menikam hatinya sendiri agar rasa sakit itu tak lagi ada. Walau tak mungkin adanya. Dia membencinya. Sangat membencinya.

“aku benci sama Shilla, Vin! Aku nggak pernah nyalahin kamu karena aku cinta kamu, tapi aku ngebenci Shilla karena dia sahabat aku. Karena dia sudah ngerebut kamu dari aku.”

Langkahnya terhenti, dia masih menangis dengan angin yang menemaninya. Terik mentari tak lagi ada, awan telah mengambil alih semuanya. Seperti Shilla yang mengambil alih hati Alvin. Dia nggak lagi ada, nggak lagi berguna.

“sekarang kamu pilih aku apa dia?” tanya Via dengan airmata yang sudah menggenang dipelupuk matanya. “aku apa dia, Vin?” seru Via serak. Airmatanya mulai berlelehan memperlihatkan ketidak sanggupannya akan semua.

“Vin, aku nggak pa-pa. kamu sama Via aja.” sambung Shilla disebelah Alvin.

Via meliriknya sinis. “gue nggak butuh belas kasihan! Gue Cuma butuh ketegasan. Lo apa gue yang Alvin pilih!” sahut Via untuk Shilla.

Lihatlah dia sekarang, berdiri sendirian. Dia yang sendirian harus menghadapi kerasnya kehidupan.

Alvin tak memilihnya, Alvin meninggalkannya, Alvin menghianatinya, Alvin membuangnya!

Sakit tak lagi terasa, bahkan semua rasa itu perlahan sirna. Mati rasa.

“aku minta maaf, Vi. Aku nggak mau kita begini terus. Aku nggak mau kamu ngemusuhin aku. Aku rela ngemutusin Alvin demi persahabatan kita, Vi!” Shilla menangis dihadapan Via.

Pandangan Via kosong. Terkadang saat airmata keluar dari tempatnya ada dua kemungkinan yang berarti dari airmata itu. antara kebohongan serta ketulusan yang kosong tak berarti diakhirnya.

“nggak usah dibahas, gue udah ngelupain semuanya!” Via pergi, tak peduli. Benar-benar tak peduli.

Rasa sakit tidak akan bisa terbayarkan dengan kata maaf saja! Karena maaf sekedar maaf dan sakit tetaplah Sakit!

“Vi, gue bener-bener minta maaf!”

“udahlah, Shill! Lo ngerti nggak bahasa gue? Gue bilang nggak usah dibahas! Lupain semuanya! Anggap nggak terjadi apa-apa! Anggap kita nggak pernah ada. Diantara kita, diantara Lo sama gue, Lo sama Alvin. Itu nggak ada!”

Ingin hilang ingatan!

Andai ada cara berbicara dengan Tuhan. Tak perlu ditanya apa yang akan dilakukan manusia saat terpuruk. Tapi sayang itu tak ada dan nyatanya itu nggak mungkin! Apa yang nggak mungkin di dunia ini? Siapa yang mengatakan kalo itu semua nggak mungkin? Tuhan pun nggak pernah menjamin itu nggak mungkin.

Kemungkinan itu ada. Selalu ada.

“masih ada kah aku dihati kamu, Vi? Aku mau memperbaiki semuanya? Semua kesalahan aku.” Alvin menggenggam tangan Via. Erat dan terpaksa.

Via tau, sangat tau! Itu topeng! Itu kepura-puraan Alvin yang kesekian kalinya. Kapan dia akan membuka topengnya? Kapan dia bakal sadar? Berhenti memohon atas dasar di minta orang lain. Berhenti melakukan hal yang sia-sia kalo akan terus menerus di ulangi setiap kalinya.

Hatinya beku, tak hanya hatinya. Seluruh tubuhnya beku, begitu pula jiwanya. Semua tak lagi berasa. Benar-benar mati rasa. Via memandang datar Alvin dan mengurai ngenggaman tangannya.

Cinta itu ada, dan cinta itu sakit. Via lebih memilih pergi ketimbang merasa sakit disaat Cinta itu ada.

Sore mulai datang menjemputnya. Menemaninya berjalan dalam kesendirian yang menyakitkan. Dia masih melangkah tak hentinya melangkah. Lelah? Dia tidak merasakan lelah. Dia mati rasa. Itu nyata!

Saat rasa benci benar-benar menjadi penambah sakit pada hati. penghianatan yang menjadi landasan rasa sakit dalam setiap kisah Cinta. Aku membenci dia, Via membenci Shilla.

“gue benci sama Lo, Shill.” datar, selalu datar. Via tak hentinya mengucapkan perasaannya pada Shilla. Rasa benci yang mewakili rasa sakitnya.

“aku benci sama Shilla, Vin. Dia ngerebut kamu dari aku. Aku memang harus ngebenci Shilla.”

Semua sudah berlalu, bagai angin. Berhembus kemudian berlalu dan lalu terlupakan. Sebentar lagi dia akan terlupakan. Sama seperti angin.

“gue sakit, Vin! Hati gue sakit! Kenapa?! Kenapa gue yang mesti Lo sakitin? Kenapa sahabat gue yang Lo pake buat nyakitin gue?!” Via terisak, menangisi nasibnya yang kurang beruntung. Sangat kurang beruntung.

Langkahnya terhenti, kali ini gantian air matanya yang enggan berhenti. Sakit dihatinya sudah tak lagi bisa ditahan. Rasa sakit itu tumpah melalui tangisan. Via menangis untuk mengurangi rasa sakitnya.

Masih dengan angin yang menemaninya. Angin makin berhembus kencang saat airmata Via mulai turun semakin deras. Angin seakan tau rasa sakit yang Via rasakan, angin seakan melarang Via menangis dengan hembusannya yang semakin kencang. Hembusannya yang menerpa wajah pucat Via.

Via menghapus airmatanya dengan kasar, menyesali mengapa dia menangis. Dia sudah bahagia sekarang. Sudah bahagia karena Alvin dan Shilla juga sudah bahagia. Kenapa menangis diatas kebahagiaan orang lain? Sangat tidak baik.

Via melanjutkan langkahnya. Dengan mata sembab sehabis menangis Via melanjutkan perjalanannya. Sekarang dia tau dia akan kemana. Dia akan ketempat dimana dia bisa berusaha tak mengingat tentang Alvin dan Shilla. Tempat dimana akan banyak orang yang menemaninya dan akan membantunya melupakan semua rasa sakit yang dia rasakan. Tempat yang damai buatnya.

Awan sore mulai bergeser dengan senja, kini senjalah yang menjadi payung perjalanan Via. Ini semua semakin jelas, sebentar lagi dia sampai ketempat yang ditujunya.

Kembali berhenti. Via kembali berhenti untuk menoleh kebelakang. Dia benar-benar dekat dengan tempat yang ditujunya. Pilih mana? Berbalik dan sakit atau berangkat dan damai? Via masih cukup sehat untuk lebih memilih berangkat dan damai.

“good bye, Vin! Love ya!” Via tersenyum pilu sambil dengan kembali menghadap depan. “untuk Lo, Shill. gue rasa percuma gue benci sama Lo. Lo sahabat gue! Tapi seenggaknya gue pengen dunia tau kalo gue benci sahabat gue sendiri!”

Via mengucapkan pesan terakhirnya pada awan senja. Biar awan senja menyampaikan pesannya pada meraka. Via terlalu sakit untuk mengatakannya sendiri.

Menoleh kebelakang untuk yang terakhir kalinya. Benar-benar yang terakhir kalinya. “masa lalu gue, bakal Lo kenang. Pengorbanan gue bakal Lo ingat. Dan rasa sakit gue bakal Lo rasain suatu saat nanti.”

Awan senja mulai berwarna hitam, awan hujan mulai menggeser awan senja untuk meggantikan tugasnya menjadi payung Via. Disinilah Via sekarang. Ditemani gemuruh hatinya sendiri.

“Vi, aku minta maaf! Bener-bener minta maaf!” lagi, Via lagi-lagi mendengar kata maaf ditujukan untuknya. Berdiri tepat dihadapan orang yang mengucapkan kata maaf itu cukup membuat Via tau siapa yang mengucap maaf.

“udah, Shill. ayo kita pulang.” Pandangan Via beralih pada seorang cowok yang berdiri tepat dibelakang Shilla. Dia Alvin. Pacar Via. Belum ada kata putus. Ingat?

Via tersenyum, kali ini tersenyum lega. Rasa sakitnya mulai terlupakan. Sebentar lagi dia benar-benar lupa ingatan. Hujan mulai tumpah saat pertama Via tersenyum. Hujan seakan diberi komando oleh senyumnya untuk tumpah.

“pulang aja deh Lo berdua, sebentar lagi gue juga mau pergi!” usirnya pada dua orang yang ada dihadapannya. Alvin dan Shilla. Nadanya ceria. Suara Via ceria. Ditengah guyuran hujan, Via merasa bahagia. Benar-benar bahagia yang sesungguhnya.

Shilla mulai bangkit dari posisinya yang semula berlutut. Dia berdiri kemudian berbalik berjalan duluan meninggalkan Alvin. Alvin menatap Shilla bersalah sekilas. Rasa bersalahnya bukan untuk Shilla, tapi untuk kebodohannya pada seseorang yang berhubungan dengan Shilla.

“jangan diri Lo baik-baik, Vi!”

“Oke, Vin! Lo nggak usah khawatir tentang gue.” Via menyahutinya. Dan setelahnya Alvin ikut berbalik dan menyusul Shilla. “yang Lo harus khawatirin itu Lo dan pacar gelap Lo.”

Hujan semakin deras saat Via berada sendiri disana. Tinggal dia sendirian sekarang.

“Tuhan itu ada, dan Tuhan itu nggak diam. Tuhan nggak bakal ngebalas umatnya. Tapi satu yang gue yakin, hukum karma bakal bekerja atas nama-Nya!”

Via ikut berbalik berlainan arah dan pergi.  Sebelum dia pergi disentuhnya sekilas batu yang sedari tadi menjadi senderannya.

   SIVIA AZIZAH
February 14 1997
December 13 2014

***