Minggu, 25 Desember 2011

APMD

"APMD"

Aku Patut Membenci Dia

***

Pagi ini pagi yang cerah dihadapan Via. Namun pagi cerah yang sangat berat dan menyedihkan baginya. Hanya bisa duduk pasrah di salah satu bangku taman dan menatap miris ke depannya. Senyum sumbang turut menyertai wajah muramnya. Dia kedinginan dan juga pucat.

“Vin, kamu berubah tau nggak!”

Alvin mendengus dan menatap pacarnya jengah. “aku berubah apa sih, Vi? Aku nggak berubah! Apa kamu mau aku yang berubah?”

“kamu berubah, Vin!” ucap Via lirih, Alvin baru saja membentaknya. “dan aku nggak mau kamu berubah!”

Pagi mulai menampakan matahari yang tadi masih tenggelam di ufuk barat. Dia masih bertahan di sana. Berpikir. Menentukan antara kemungkinan juga kenyataan. Memilih antara melepaskan atau memaksakan. Dia menangis. Via menangis.

“aku cinta kamu, Vin!”

Via beranjak. Melangkahkan kakinya berat meninggalkan pagi. Pergi untuk menangisi takdirnya. Takdir hidup juga cintanya.

“Vi, Alvin Lo itu nyebelin banget sih! Heran deh! Lo masih aja tahan sama dia!” omel Shilla pada Via. Pagi itu di sekolah. “gue tadi nyapa dia. Eh, malah di cuekin!”

Via tersenyum, menutup buku yang dibacanya lalu memandang wajah kesal Shilla. “Alvin emang gitu. Tapi dia nggak cuek sama gue kok!” bela Via, Alvin pacar Via.

“yang gue liat nggak gitu tuh!” Shilla mencibir. “Via! Dia itu bahkan nggak nganggap Lo ada! Dia anggap Lo saat dia butuh, setelah itu Lo nggak ada lagi!” cerca Shilla.

Via menatap Shilla aneh. “Lo kenapa sih? Cemburu? Lo selalu aja ikut campur urusan gue sama Alvin!” Via membuncah, Shilla terlalu sering mengomentari hubungannya dengan Alvin. “atau jangan-jangan Lo suka sama Alvin? Iya?” balas Via membentak.

Shilla tersentak dan diam kemudian. Via memandang Shilla nggak percaya. Diam berarti iya! Dan berarti iya, kalo Shilla suka sama Alvin! Mata Via berkaca-kaca, sesuatu yang basah akan segera turun dari pelupuk matanya.

“Lo suka Alvin, Shill? itu sebabnya Lo kemaren nyuruh gue putus sama Alvin?” airmata mulai berlinang membasahi pipi lembut Via. Dia menangis, kembali menangis. “Lo nyuruh teman Lo mutusin pacarnya biar Lo bisa lebih luasa ngerebut…”

“nggak, Vi! Lo salah! Gue Cuma bercanda kemaren, nggak ada maksud apa-apa! Lo salah paham.”

“Lo mau ngerebut Alvin dari gue! Gue kecewa sama Lo!”

Pagi silih berganti menjadi siang. Dia berjalan tak tentu arah membiarkan sinar mentari menyengat kulit putihnya. Dirinya tak lagi berharga. Dan dia tak lagi berarti. Dan dia kembali menangis. Kenapa ini harus menimpanya? Menimpa Via?

“kalo Via tau gimana? Aku nggak mau Via ngemusuhin aku, Vin! Gimana juga Via itu teman ku.” Shilla memandang Alvin yang tengah menatapnya. Alvin tersenyum, senyum tipis meremehkan sesuatu. “aku juga nggak mau Via mutusin kamu.”

“Via nggak bakal ngemusuhin kamu, juga nggak bakal mutusin kamu! Jadi kamu tenang aja.” ujar Alvin yakin, tangannya merangkul Shilla dan memeluknya dari samping erat.

“aku cinta kamu, Vin!”

Panas masih saja tanpa ampun menyengatnya, tapi dia tak merasa panas atau pun lelah dalam perjalanannya. Dia malah kedinginan, sangat kedinginan. Mengingat saat-saat manisnya terdahulu malah membuat bibir merahnya membiru. Kenangan itu menyakitkan.

“eh? ini buku gue duluan yang pegang!”

“heh! Tapi gue duluan yang mau beli!”

“heh Sipit, gue megang duluan! Berarti gue mau ngebeli ini buku!” Via menarik buku yang di pegangnya namun juga di pegang oleh cowok di hadapannya. “lepas! Gue mau ngebayar ke kasir noh!”

Alvin, cowok itu memandang Via dan tersenyum padanya. Via heran. “nggak usah sok imut! Buru lepas bukunya, gue deadline nih!”

“gue bakal ngelepas buku ini, tapi gue harus dapat penggantinya.”

“apa?” sahut Via nggak sabar.

Alvin mendekat pada Via dan menatapnya tepat di manic mata. “jadi pacar gue ya?”

“eh?” Via terkejut lalu menggeleng. “gue nggak ada waktu buat ngikutin permainan gila Lo!” Via merampas buku itu dan dengan cepat berbalik pergi.

“Lo pacar gue sekarang!”

Kebahagiaan yang dulu kini tinggal kenangan. Membawa bayangannya terbang dan terlupakan. Membawa tentangnya melayang dan terabaikan. Dia berhenti. Terhenti. Bagaimana pun dia, rasanya masih sama. Sakit.

“Vin, hari ini kita jadi ke toko…”

“aku mau ngurus sesuatu dulu, penting! Ke toko bukunya besok aja. oke?!” Alvin berlalu pergi tanpa menunggu balasan Via di hari itu. lagi-lagi Alvin ingkar.

Sedih Via rasakan, dirinya terabaikan dan kini sakit tak terperi seakan menggores hati kecilnya. Itu penghianatan cinta juga kemunafikan sahabat. Alvin pergi menggandeng Shilla.

Terik mentari sedikit memudar berganti semilir angin yang berhembus sejuk. Menguraikan rambut hitamnya. Memperlihatkan wajah cantiknya yang sayu namun memucat. Via masih terus melangkah entah kemana jalan membawanya. Kemana pun asal jauh dari semuanya.

“Lo ada hubungan apa sama Shilla, Vin?! Lo pacaran?” cerca Via nggak sabar yang baru pulang kerumahnya. Rumah Alvin.

Alvin melengos, lelah. “kamu ngapain di sini?” tanya Alvin sebaliknya.

Via menangis. “aku cinta kamu, Vin! Aku di sini karena aku cinta kamu!” isak Via yang mulai menangis di hadapan Alvin. “kamu berubah! Dan sekarang aku tau itu gara-gara Shilla!”

“Vi,”

“kamu dengar aku ya, Vin! Aku benci Shilla! Aku benci sama dia! Bencii!!!” Via berteriak histeris pada Alvin lalu pergi berlari keluar.

Via nggak lagi bisa menahan semuanya. Kepura-puraannya yang berharap kesadaran pacar juga sahabatnya sendiri sama sekali tak di indahkan. Mereka ingkar, bohong dan berhianat.

“Via?” Shilla tercekat saat bertemu Via di depan rumah pacarnya. Pacar Via juga!

Via berhenti dan memandang wajah Shilla benci. Sangat benci! Tapi… Shilla sahabat Via?

“kita sahabat selamanya ya, Vi? Kalo kamu butuh aku, aku bakal selalu ada di sebelah kamu…”

“aku juga, aku juga akan selamanya jadi temen Shilla. Kita sahabat selamanya!”

Jari kelingking keduanya bertaut, tanda itu adalah sebuah perjanjian. Perjanjian penting yang di pegang teguh dan sekarang terlupakan!

“gue benci sama Lo!” seru Via disela isakannya. “Lo bukan lagi sahabat gue! Gue benci sama Lo!!”

Angin berhembus kencang saat Via kembali menangis, lagi-lagi menangis. Angin seakan ingin mengusap tetesan air mata yang mengalir dipipinya. Terus berhembus seakan berkata dia tak perlu menangisi kisah cintanya.

Namun nggak bisa rasa sakit itu kini bercampur dengan rasa bencinya. Rasa sakit tiada terperi kini menerjang hatinya membuatnya ingin menikam hatinya sendiri agar rasa sakit itu tak lagi ada. Walau tak mungkin adanya. Dia membencinya. Sangat membencinya.

“aku benci sama Shilla, Vin! Aku nggak pernah nyalahin kamu karena aku cinta kamu, tapi aku ngebenci Shilla karena dia sahabat aku. Karena dia sudah ngerebut kamu dari aku.”

Langkahnya terhenti, dia masih menangis dengan angin yang menemaninya. Terik mentari tak lagi ada, awan telah mengambil alih semuanya. Seperti Shilla yang mengambil alih hati Alvin. Dia nggak lagi ada, nggak lagi berguna.

“sekarang kamu pilih aku apa dia?” tanya Via dengan airmata yang sudah menggenang dipelupuk matanya. “aku apa dia, Vin?” seru Via serak. Airmatanya mulai berlelehan memperlihatkan ketidak sanggupannya akan semua.

“Vin, aku nggak pa-pa. kamu sama Via aja.” sambung Shilla disebelah Alvin.

Via meliriknya sinis. “gue nggak butuh belas kasihan! Gue Cuma butuh ketegasan. Lo apa gue yang Alvin pilih!” sahut Via untuk Shilla.

Lihatlah dia sekarang, berdiri sendirian. Dia yang sendirian harus menghadapi kerasnya kehidupan.

Alvin tak memilihnya, Alvin meninggalkannya, Alvin menghianatinya, Alvin membuangnya!

Sakit tak lagi terasa, bahkan semua rasa itu perlahan sirna. Mati rasa.

“aku minta maaf, Vi. Aku nggak mau kita begini terus. Aku nggak mau kamu ngemusuhin aku. Aku rela ngemutusin Alvin demi persahabatan kita, Vi!” Shilla menangis dihadapan Via.

Pandangan Via kosong. Terkadang saat airmata keluar dari tempatnya ada dua kemungkinan yang berarti dari airmata itu. antara kebohongan serta ketulusan yang kosong tak berarti diakhirnya.

“nggak usah dibahas, gue udah ngelupain semuanya!” Via pergi, tak peduli. Benar-benar tak peduli.

Rasa sakit tidak akan bisa terbayarkan dengan kata maaf saja! Karena maaf sekedar maaf dan sakit tetaplah Sakit!

“Vi, gue bener-bener minta maaf!”

“udahlah, Shill! Lo ngerti nggak bahasa gue? Gue bilang nggak usah dibahas! Lupain semuanya! Anggap nggak terjadi apa-apa! Anggap kita nggak pernah ada. Diantara kita, diantara Lo sama gue, Lo sama Alvin. Itu nggak ada!”

Ingin hilang ingatan!

Andai ada cara berbicara dengan Tuhan. Tak perlu ditanya apa yang akan dilakukan manusia saat terpuruk. Tapi sayang itu tak ada dan nyatanya itu nggak mungkin! Apa yang nggak mungkin di dunia ini? Siapa yang mengatakan kalo itu semua nggak mungkin? Tuhan pun nggak pernah menjamin itu nggak mungkin.

Kemungkinan itu ada. Selalu ada.

“masih ada kah aku dihati kamu, Vi? Aku mau memperbaiki semuanya? Semua kesalahan aku.” Alvin menggenggam tangan Via. Erat dan terpaksa.

Via tau, sangat tau! Itu topeng! Itu kepura-puraan Alvin yang kesekian kalinya. Kapan dia akan membuka topengnya? Kapan dia bakal sadar? Berhenti memohon atas dasar di minta orang lain. Berhenti melakukan hal yang sia-sia kalo akan terus menerus di ulangi setiap kalinya.

Hatinya beku, tak hanya hatinya. Seluruh tubuhnya beku, begitu pula jiwanya. Semua tak lagi berasa. Benar-benar mati rasa. Via memandang datar Alvin dan mengurai ngenggaman tangannya.

Cinta itu ada, dan cinta itu sakit. Via lebih memilih pergi ketimbang merasa sakit disaat Cinta itu ada.

Sore mulai datang menjemputnya. Menemaninya berjalan dalam kesendirian yang menyakitkan. Dia masih melangkah tak hentinya melangkah. Lelah? Dia tidak merasakan lelah. Dia mati rasa. Itu nyata!

Saat rasa benci benar-benar menjadi penambah sakit pada hati. penghianatan yang menjadi landasan rasa sakit dalam setiap kisah Cinta. Aku membenci dia, Via membenci Shilla.

“gue benci sama Lo, Shill.” datar, selalu datar. Via tak hentinya mengucapkan perasaannya pada Shilla. Rasa benci yang mewakili rasa sakitnya.

“aku benci sama Shilla, Vin. Dia ngerebut kamu dari aku. Aku memang harus ngebenci Shilla.”

Semua sudah berlalu, bagai angin. Berhembus kemudian berlalu dan lalu terlupakan. Sebentar lagi dia akan terlupakan. Sama seperti angin.

“gue sakit, Vin! Hati gue sakit! Kenapa?! Kenapa gue yang mesti Lo sakitin? Kenapa sahabat gue yang Lo pake buat nyakitin gue?!” Via terisak, menangisi nasibnya yang kurang beruntung. Sangat kurang beruntung.

Langkahnya terhenti, kali ini gantian air matanya yang enggan berhenti. Sakit dihatinya sudah tak lagi bisa ditahan. Rasa sakit itu tumpah melalui tangisan. Via menangis untuk mengurangi rasa sakitnya.

Masih dengan angin yang menemaninya. Angin makin berhembus kencang saat airmata Via mulai turun semakin deras. Angin seakan tau rasa sakit yang Via rasakan, angin seakan melarang Via menangis dengan hembusannya yang semakin kencang. Hembusannya yang menerpa wajah pucat Via.

Via menghapus airmatanya dengan kasar, menyesali mengapa dia menangis. Dia sudah bahagia sekarang. Sudah bahagia karena Alvin dan Shilla juga sudah bahagia. Kenapa menangis diatas kebahagiaan orang lain? Sangat tidak baik.

Via melanjutkan langkahnya. Dengan mata sembab sehabis menangis Via melanjutkan perjalanannya. Sekarang dia tau dia akan kemana. Dia akan ketempat dimana dia bisa berusaha tak mengingat tentang Alvin dan Shilla. Tempat dimana akan banyak orang yang menemaninya dan akan membantunya melupakan semua rasa sakit yang dia rasakan. Tempat yang damai buatnya.

Awan sore mulai bergeser dengan senja, kini senjalah yang menjadi payung perjalanan Via. Ini semua semakin jelas, sebentar lagi dia sampai ketempat yang ditujunya.

Kembali berhenti. Via kembali berhenti untuk menoleh kebelakang. Dia benar-benar dekat dengan tempat yang ditujunya. Pilih mana? Berbalik dan sakit atau berangkat dan damai? Via masih cukup sehat untuk lebih memilih berangkat dan damai.

“good bye, Vin! Love ya!” Via tersenyum pilu sambil dengan kembali menghadap depan. “untuk Lo, Shill. gue rasa percuma gue benci sama Lo. Lo sahabat gue! Tapi seenggaknya gue pengen dunia tau kalo gue benci sahabat gue sendiri!”

Via mengucapkan pesan terakhirnya pada awan senja. Biar awan senja menyampaikan pesannya pada meraka. Via terlalu sakit untuk mengatakannya sendiri.

Menoleh kebelakang untuk yang terakhir kalinya. Benar-benar yang terakhir kalinya. “masa lalu gue, bakal Lo kenang. Pengorbanan gue bakal Lo ingat. Dan rasa sakit gue bakal Lo rasain suatu saat nanti.”

Awan senja mulai berwarna hitam, awan hujan mulai menggeser awan senja untuk meggantikan tugasnya menjadi payung Via. Disinilah Via sekarang. Ditemani gemuruh hatinya sendiri.

“Vi, aku minta maaf! Bener-bener minta maaf!” lagi, Via lagi-lagi mendengar kata maaf ditujukan untuknya. Berdiri tepat dihadapan orang yang mengucapkan kata maaf itu cukup membuat Via tau siapa yang mengucap maaf.

“udah, Shill. ayo kita pulang.” Pandangan Via beralih pada seorang cowok yang berdiri tepat dibelakang Shilla. Dia Alvin. Pacar Via. Belum ada kata putus. Ingat?

Via tersenyum, kali ini tersenyum lega. Rasa sakitnya mulai terlupakan. Sebentar lagi dia benar-benar lupa ingatan. Hujan mulai tumpah saat pertama Via tersenyum. Hujan seakan diberi komando oleh senyumnya untuk tumpah.

“pulang aja deh Lo berdua, sebentar lagi gue juga mau pergi!” usirnya pada dua orang yang ada dihadapannya. Alvin dan Shilla. Nadanya ceria. Suara Via ceria. Ditengah guyuran hujan, Via merasa bahagia. Benar-benar bahagia yang sesungguhnya.

Shilla mulai bangkit dari posisinya yang semula berlutut. Dia berdiri kemudian berbalik berjalan duluan meninggalkan Alvin. Alvin menatap Shilla bersalah sekilas. Rasa bersalahnya bukan untuk Shilla, tapi untuk kebodohannya pada seseorang yang berhubungan dengan Shilla.

“jangan diri Lo baik-baik, Vi!”

“Oke, Vin! Lo nggak usah khawatir tentang gue.” Via menyahutinya. Dan setelahnya Alvin ikut berbalik dan menyusul Shilla. “yang Lo harus khawatirin itu Lo dan pacar gelap Lo.”

Hujan semakin deras saat Via berada sendiri disana. Tinggal dia sendirian sekarang.

“Tuhan itu ada, dan Tuhan itu nggak diam. Tuhan nggak bakal ngebalas umatnya. Tapi satu yang gue yakin, hukum karma bakal bekerja atas nama-Nya!”

Via ikut berbalik berlainan arah dan pergi.  Sebelum dia pergi disentuhnya sekilas batu yang sedari tadi menjadi senderannya.

   SIVIA AZIZAH
February 14 1997
December 13 2014

***

Sabtu, 19 November 2011

PsycoLove #19


 “jangan dekat-dekat!!” Agni refleks ngedorong Cakka, waktu jarak antar keduanya sudah bisa dibilang sangat dekat. Agni memandang Cakka yang berada agak jauh darinya Sengit. Nggak otak nggak kelakuan mesum semua!

Cakka memandang Agni bingung. Parno amat! Baru dipegang gitu juga.

“yang jadi cowoknya kan gue? Kok malah loe yang agresif?” Agni memincingkan matanya pada Cakka. Curiga, playboy satu ini pasti mau ngambil kesempatan.

Cakka mendekat lagi pada Agni. “kan memang ada di scriptnya? Ceweknya ngerenguh muka cowoknya gitu!” jawabnya tanpa beban.

“halaah! Alasan! Loe mau ambil kesempatan kan? Ngaku! Udah ketauan dari muka Loe. Tampang mesum!”

“terserah apa kata Loe dah! Gue cape berantem mulu!” ujar Cakka terserah.

“pokoknya gitu deh, Bu!” Agni langsung menghadap Bu Winda kemudian menoleh pada Alvin. “Lo bisa nggak? Yang total kayak gue tadi. Kalo nggak bisa mending ganti pemain aja deh!” Agni berbicara seenak jidat tanpa peduli Alvin yang udah pasang muka rada-rada emosi.

Alvin berdiri dipinggir panggung sama Via. Memperhatikan acting Cakka-Agni yang menurut dia nggak ada apa-apanya. Masih bagusan dia sama Via kemana-mana. Dan yang jelas Alvin tetep jadi cowoknya. Nggak kayak Cakka yang harus jadi ceweknya.

Bu Winda mengangguk-anggukkan kepalanya. Biar kata acting Cakka-Agni tadi sebentar tapi acting mereka lumayan.

Agni mulai melangkah turun dari atas panggung malas berlama-lama jadi pusat perhatian. Agni berjalan melewati Cakka lalu ngelewati Alvin-Via. Sebelum bener-bener turun dari panggung Agni sempet-sempetnya narik tangan Via buat ngikut dia.

“istirahat bentar ya, Bu?” pinta Agni, Via yang ada disebelahnya mengangguk semangat.

“5 menit!”

“Yah? Bentar amat, Bu?” Via menyela nggak terima.

“nggak bisa ditawar! Cepet!” Perintah Bu Winda.

Agni-Via langsung lari sehabis diperintah Bu Winda. Disiplin diprioritaskan kalo sama Bu Winda. Kalo misalnya 5 menit itu lewat, bisa-bisa jam pulang mereka bakal tambah jauh dari yang sebenarnya.

Sepeninggal Agni-Via, Bu Winda juga meninggalkan ruangan. Katanya tadi mau nyari Zeva dan sekarang, tinggalah Alvin-Cakka bedua diatas panggung. Menatap punggung Bu Winda yang menghilang dibalik pintu.

“sampai kapan mau kayak gini terus?”

“gue nggak tau, yang pasti nggak lama lagi.”

***

Meja kantin semua penuh. Nggak ada tempat buat Agni-Via disana. Agni melirik Via yang kelihatan sedang mengamati sekeliling kantin dan tak lama setelahnya Via juga melirik Agni dan saling lirik lah mereka.

“nggak ada tempat duduk, Ag!” Lapornya. Agni mengangguk. “terus gimana?”

Agni mengedikan bahunya. “nggak tau,”

Masih berdiri, Agni dan Via malah sibuk memperhatikan suasana kantin yang rame. Sebenarnya sambil menunggu juga ada yang pergi dan mereka bisa pake tempat yang kosong itu buat makan, tapi… kok nggak ada yang selesai-selesai?

“Ag? Kita duduk disana yok?”

Via menggandeng tangan Agni dan menunjuk kesatu arah. Agni memincingkan matanya melihat tempat yang Via tunjuk. Itu tempat nyisain dua bangku kosong. Pas buat mereka berdua. Tapi disana ada sepasang muda mudi yang sedang berbincang. Itu… Patton sama Zeva! Mereka ada hubungan apa?

Via menarik tangan Agni mendekati keduanya semangat sementara itu Agni yang disebelahnya memandang Via aneh. Perasaan Via paling malas berurusan sama Zeva? Tapi sekarang kok malah dia yang berniat deketin Zeva?

“hai, Patton?” sapa Via ceria setibanya dimeja Patton-Zeva.

Patton-Zeva yang tadi mengobrol menoleh dan mendapati Agni-Via didekat meja mereka. “eh? hai, Vi! Duduk-duduk, gue sama Zeva baru aja ngomongin zaman-zamannya kita SMP dulu. Bernostalgia.” Patton menepuk bangku disebelahnya, menyuruh Via duduk disana.

Perlu diketahui, Patton sama Zeva duduk berhadapan. Makanya bangku disamping keduanya kosong. Via langsung duduk sehabis disuruh, begitu juga Agni yang ikutan duduk waktu Via duduk. Agni duduk disebelah Zeva.

Zeva terlihat kesal dengan kedatangan Via-Agni. Pengganggu!! Kurang lebih begitu menurutnya kedua orang pendatang baru ini.

“gue mau pesan dulu! Lo mau apa, Vi? Gue pesenin sekalian.” Tanya Agni sambil beranjak dari bangkunya. Menunggu jawaban Via.

“gue minum aja deh, es krim strawberry!” sahutnya cepat.

Agni tersenyum sumbang kemudian pergi. Pesan es krim ya? dimana-mana juga es krim dimakan kali! Masa mau diseruput kayak minum air. Via rada henk nih deketan sama Zeva.

Sepeninggal Agni, Via sibuk mengajak Patton ngobrol. Melupakan atau tepatnya sengaja melupakan Zeva yang ada disana. Via selalu bertanya setiap kali Zeva buka suara, Via sengaja. Patton nggak boleh dekat-dekat Zeva!! Zeva itu jahat!

Zeva memandang Via jengkel. Cewek yang satu ini bener-bener pengganggu! Kenapa dia nempelin Patton kayak begitu?? Zeva mendengus dan memilih meminum Jus jeruknya.

“eh? Ze, kenapa diam?” Via bertanya mengejek pada Zeva. Pertanyaan basa-basi yang Via tau sendiri jawabannya. Gimana nggak diam, orang tiap kali mau ngomong dicela mulu! Via tertawa dalam hati.

Zeva menghembuskan nafas panjang. “nggak pa-pa, lanjut aja Lo bedua.” Ujarnya pelan namun tegas.

Via mengernyit, Zeva kenapa? Tumbenan nggak langsung meledak. Biasanya juga sehabis saling ejek sedikit mereka pasti langsung ribut.

“Lo sakit, Ze?” tanya Via peduli. Bener-bener peduli! Via rada aneh dengan Zeva yang nggak menyahut ejekannya seperti biasa. Zeva menggeleng sambil mengernyit. Tumbenan?

Via mengangguk, sedikit ada rasa bersalah mengganggu obrolan Patton-Zeva. “Agni lama.” Desahnya. Menutupi rasa canggungnya dengan Zeva.

Tak lama Patton mulai kembali mengajak Zeva berbincang, Zeva menjawab dan Via mendengarkan. Nostalgia masa-masa SMP dulu, hal-hal yang memalukan zaman dulu pun bisa menjadi hal yang menyenangkan sekarang.

“Lo itu nekat banget ngedekati Iyel gara-gara mau ngebalas gue, untung Iyel kuat iman nggak tergoda sama Lo!” Via mengucapkannya tertawa, mengingat Zaman mereka SMP dulu, mereka sempat memperebutkan Iyel.

Zeva juga tertawa. “itu Iyel-nya aja yang payah! Masa iya pas gue tembak dia malah ngajakin gue beteman aja. ya, mau nggak mau gue terima. Gue udah tau tuh dia nolak gue secara halus.” Ujarnya geli, mengingat reaksi dan tingkah laku Iyel dulu.

Patton memandang kedua cewek yang ada didekatnya bergantian. Rada aneh dan bingung ngeliat keduanya akur, tapi bukan masalah. malah bagus, kalo akrab gini kan asik!

“ngomongin apa sih?” Agni datang dan langsung meletakan pesanan Via diatas meja. Sedangkan pesananya sendiri ya dia pegang. Agni Cuma pesen sekaleng softdrink.

Zeva-Via mengacuhkan Agni dan asik dengan obrolan mereka sendiri. Kening Agni berkerut, tumbenan akur? Pandangan Agni kemudian beralih ke Patton. “ada apa nih?” tanyanya penasaran. Patton menggeleng lalu mengedikan bahu, tanda tak tau apa-apa.

Agni kemudian duduk dan memperhatikan perbincangan keduanya. Hanya menjadi pendengar setia bersama Patton. Hidup memang nggak terduga. Kawan memang bisa jadi Lawan, tapi nggak menutup kemungkinan kalo Lawan bisa jadi Kawan.

***

Waktu istirahat Via-Agni lewat tanpa mereka sadari. Hal nyata pertanda tidak baik terlihat pada saat keduanya memasuki aula. Aura-aura tak mengenakan terlihat dari tiga orang yang ada disana. 1 Bu Winda, 2 Alvin, 3 Cakka!

“kemana aja kalian? Sudah Ibu bilang kan, 5 menit!” damprat Bu Winda langsung setibanya Agni-Via dihadapannya. Agni-Via bungkam, nggak punya alasan bagus.

“Lo mau lari dari tugas Lo?” Cakka ikut berbicara, dan tentu khusus buat Agni perkataannya tadi.

Agni mendelik pada Cakka, tanda tak terima. “heh! Sorry ya! gue ini orangnya bertanggung jawab!” serunya langsung.

“Oh Ya?” Alvin menyahut. “jangan-jangan ngaret hampir sejam itu yang Lo bilang bertanggung jawab.” Sinisnya.

“kenapa Lo yang marah-marah? Kita telat kan tentu ada alasan!” sahut Via kesal.

Alvin memandang Via, matanya menyipit. “terus, apa alasan kamu?” tanyanya sinis. Via terdiam.

“ada apaan sih?” Zeva datang dan dengan tiba-tiba sudah ada diantara mereka. Wajah Via berubah sumringah! Dewi Fortune!

“tadi gue sama Agni diskusi masalah theater sama Zeva! Itu alasan gue!” seru Via langsung pada Alvin.

Zeva memandang Via bingung. Kenapa tiba-tiba nama dia dibawa-bawa?

“Cukup!” Bu Winda buka suara setelah terdiam memperhatikan perkelahian muridnya. “sekarang kalian lanjutkan tugas kalian tadi, dan kamu Zeva ikut Ibu. Ibu sudah nyariin kamu kemana-mana, nggak taunya kamu malah sama Agni-Via. Ayo!”

Dengan kening berkerut binggung Zeva mengikuti Bu Winda yang keluar aula. Baru juga masuk udah disuruh keluar lagi. Sungutnya dalam hati. namun tak bisa berbuat banyak dan akhirnya hanya bisa mengikuti.

Perang tatap tak terelakan sesaat setelah Bu Winda pergi. Saling tatap beda arti menghujam satu sama lain. Agni vs Cakka, tatapan jengkel vs tatapan meremehkan. Via vs Alvin, tatapan sok berani vs tatapan kasih sayang.

“nih! Schedule yang mesti Lo atur. Bikin proposal ke kepsek buat minta bantuan dana.” Cakka mengulurkan selembar kertas pada Agni. “itu semua yang dibutuhkan, sebisa mungkin besok harus sudah selesai!” perintah Cakka seenaknya.

Agni melotot. Apaan?? Enak bener??!!

“Ayo latihan!” Alvin menarik tangan Via dan menyeretnya menuju panggung. Via mengikuti langkah Alvin sambil memandangi punggungnya kesal, namun tak bisa berbuat apa-apa dan akhirnya hanya bisa pasrah.

***

“aku cape! Ini udah kesepuluh kalinya kita ngulang adegan ini Vi! Kamu kenapa sih?” seru Alvin kesal sambil beringsut duduk dilantai panggung saat itu.

Sudah ada sepuluh kali Alvin mencoba melakukan adegan saat sang Putri Tidur yang merangkap menjadi cewek biasa anak tiri orang kaya yang sedang terbaring dalam tidurnya yang merangkap menjadi koma dan mencoba untuk menciumnya biar bangun yang merangkap biar sadar. (dipahami)

Dan kesepuluh kalinya juga Via menertawakan acting Alvin yang menurutnya terlalu lebay. Nggak terlalu lebay, hanya saja tanpa ada yang tau Via menutup rasa gugupnya dengan tertawa. Cuma dengan itu dia bisa menyembunyikan rona merah pada pipinya.

“ayo mulai lagi!” Alvin beranjak dan meraih tangan Via. Membimbingnya kembali berbaring diatas sebuat tempat tidur properti theater. “jangan ketawa lagi!” peringat Alvin jengkel.

Wajah Via kali ini nggak bisa menutupi rona merahnya. Wajah Alvin terpampang jelas dihadapan Via. Adegan bangun membangunkan tapi nggak pake beneran. Alvia sudah menyepakati kalo nggak ada yang beneran dalam adegan yang satu ini.

“biar nggak ketawa lagi mending kamu nutup mata deh!” ujar Alvin memberi solusi. Cape ngeliat Via ketawa mulu.

Via menurut. Ditutupnya matanya perlahan. Deg-degan kalo-kalo Alvin mengingkari perjanjian mereka tadi. Alvin yang memperhatikan wajah resah Via yang terpenjam tersenyum lebar karenanya. Via pastinya resah takut-takut dia melakukan yang lebih daripada yang disepakati.

Alvin menghela nafasnya dan Via mendengar helaan nafas Alvin. Pasti adegan sudah mau dimulai. Via menahan nafasnya diam-diam sambil memejamkan matanya erat dia menunggu. menunggu?

“kamu kenapa, Vi? Kenapa bisa begini?” suara Alvin mulai terdengar ditelinga Via. Alvin pasti sudah berada disebelah wajahnya. “sampai kapan kamu begini, Vi?” lirih Alvin mengucapkannya sungguh-sungguh.

Tangan Via yang tergeletak disamping badannya pun mulai diraih Alvin dan di genggam lembut. Alvin mengelus dan mengecup punggung tangan Via lembut. “kapan kamu sadar? Aku nunggu kamu. Kamu kebahagiaanku!” Alvin beranjak dan menaruh kembali tangan Via.

“Vi?” Alvin mengelus kepala Via lembut. Tapi yang dielus serasa ketiup topan dalam hatinya.

Via diam. Matanya nggak lagi memaksa buat terpejam. Via terpejam natural sekarang seakan sentuhan Alvin pada kepalanya menggiringnya untuk tertidur saat itu juga.

“cepat bangun ya sayang.” Alvin berhenti mengelus dan mendekatkan wajahnya pada Via. Dan…

“wwWWOO~~” beberapa anak property yang mendekorasi panggung terpana sejenak dan berpaduan suara serentak. Dimata mereka sekarang terpampang jelas adegan 17+ yang sebenarnya Cuma tipuan mata.

Alvin nggak benar-benar mencium Via, tapi Alvin memang mencium Via namun di dahinya. Mengecupnya lama, terbawa suasana.

Alvin menghentikan aksinya dan memandangi wajah Via yang nggak kunjung membuka mata. Tumben nggak ketawa, pikirnya. Masih belum membuka mata pada saat menit ketiga Alvin memandangi Via.

“Vi?” Alvin menepuk pipi Via pelan. “udah selesai!” bisiknya lembut ditelinga Via.

Via menggeliat dan memiringkan tubuhnya. “bentar lagi ah! Gue ngantuk nih!” gumamnya tak kentara tapi Alvin mendengar jelas semuanya.

Alvin membatu ditempat sampai akhirnya tertawa kecil dengan sendirinya. Via tidur beneran!!

Jam sudah nunjukin pukul 4 sore waktu yang dilihat Alvin, Via masih asik tidur di ranjang property theater. Ini sudah jam pulang buat para pemain dan tinggal pemeran utamanya aja yang belum pulang, yaitu Alvin dan Via.

“Lo nggak pulang?” seseorang menepuk bahu Alvin yang seasik sendiri memperhatikan Via.

Alvin menoleh dan mendapati Cakka yang ada dibelakangnya. “maunya sih pulang, tapi ini anak gimana?”

“ya Lo gendong! Susah amat. Seberapa berat sih?” Cakka memandang aneh Alvin yang kelihata ling-lung. “kalo nggak mau sini gue gendongin, Lo ke mobilnya sana ngebukain pintu!” suruh Cakka sambil siap-siap mengangkat Via.

“nggak usah!” seru Alvin cepat sebelum Cakka menyentuh Via. Enak aja! “mending Lo ngangkut cewek Lo sendiri dari pada Lo ngangkut cewek gue!” katanya sambil memandang Agni yang tertidur dibangku penonton dibawah sana.

Cakka mengalihkan pandangannya menuju arah pandang Alvin. Dan benar aja, Agni lagi tidur dengan posisi duduk disana.

“gue balik duluan.” Alvin pamit dengan Via dalam gendongannya. Cakka memandangin kepergian Alvia sebentar lalu beralih lagi pada Agni. Posisi tidur yang kurang cantik buat seorang perempuan. Duduk dengan kepala terkulai kesamping, belum lagi bibirnya yang sedikit terbuka. Bener-bener.

Cakka menggeleng tanpa sadar. Cewek dengan posisi tidur kurang cantik itu ya ceweknya, Agni. Cakka melangkah menuruni panggung menuju Agni. Hari ini memang melelahkan, nggak masalah untuk hari-hari kedepannya dia harus ngegendong Agni tiap hari. Dihitung-hitung suatu keberuntungan.

“All gue balik duluan ya?” Cakka berteriak saat menggumumkan dirinya akan pulang. Nggak perlu dibilangin kalo Agni bakal ikut Cakka pulang, dari posisi aja sudah jelas. Agni sudah dalam gendongan Cakka dan sama sekali nggak terganggu sama teriakan Cakka. Saking lelahnya.

Cakka melangkah sambil sesekali menoleh kebawah, tepat pada wajah Agni. Kayaknya udah lama banget. Cakka menyeringai aneh sampai akhirnya terhenti saat dia tiba disamping mobilnya.

Hari ini kemajuan pesat yang sama sekali nggak kepikiran!

***

Jumat, 04 November 2011

Boys vs Girls : B. Handsome



Rintik hujan membasahi dunia saat ini. Murid-murid IG yang sedang berolahraga pun terpaksa menghentikan kegiatan mereka yang sedang bermain voli dan berteduh di koridor kelas.

“kantik yuk, haus gue!” ajak seorang cewek kepada semua temannya.

Tanpa basa-basi lagi mereka semua bergerombol menuju kantin yang terletak diantara IG dan IB school. IG adalah sekolah yang khusus yang diperuntukan untuk anak perempuan. Sekolah 3 tingkat sesuai kelas dengan 6 ruang kelas dimasing-masing tingkatnya. Setiap kelas di isi oleh 20 siswi dan 1 diantaranya bertugas sebagai ketua yang bertanggung jawab atas teman-temannya.

“hai, Shill? Nggak olahraga lo?” Tanya Zeva ketua kelas tingkat 2D pada Shilla ketua kelas tingkat 2C.

Shilla menatap Zeva jengkel dan tak mengubris pertanyaan Zeva itu. Sudah tahu hujan, masa gue masih mau olahraga aja? Dasar cewek sarap! Batin Shilla kesal. Shilla memang tidak terlalu suka dengan Zeva, selain bisa dibilang tukang gosip, Zeva juga tipe cewek yang suka cari perhatian.

“Ibu! Es jeruknya 1,” teriak Shilla dari depan meja kantin. Nggak peduli suasana di IB area sebenarnya sangat ramai. Riuh suara di IB area yang sudah dapat dipastikan sedang membicarakan Shilla yang sedang menunggu minumannya didepan meja kantin.

Suara bel tanda istirahat dari IB dan IG School saling bersautan. Kantin yang awalnya lengang sekarang sudah dipenuhi anak-anak yang ingin mencari makan. Pesanan Shilla telah datang, dia segera pergi mencari meja.

“Shilla!!”  Seorang cewek imut berlari menghampiri Shilla dan duduk disampingnya. Shilla memandang cewek itu binggung, sampe akhirnya berteriak histeris.

“Via!!” Shilla memeluk Via yang ada disebelahnya dengan erat. Suara riuh kembali terdengar di IB area, grasak-grusuk pun kembali terjadi membicarakan Shilla dan Via yang sedang berpelukan didepan umum.

Via adalah ketua kelas tingkat 2B, sahabat Shilla. Terkadang Shilla binggung, kenapa sahabatnya yang satu ini bisa menjadi ketua kelas. Sifat Via yang lemah lembut dan terkadang lemot membuat Shilla tercenggang saat Via bilang dia terpilih sebagai ketua tingkat 2B.

“woi!!” Agni datang dan mengebrak meja. Shilla dan Via kaget dan melepas pelukan mereka. Agni adalah ketua tingkat 2F, kelas yang terkenal atas semua prestasi di bidang olahraga tapi jangan salah, di bidang akademik pun mereka bisa, hanya saja tidak sepandai tingkat 2A, 2B, 2C, 2D dan 2E.

“apaan sih, Ag?” Tanya Via dengan menampilkan tampang kesalnya yang menurut Agni sangat lucu. Agni tertawa lalu duduk di bangku kosong di depan Shilla.

“noh!” Agni menunjuk cowok-cowok IB yang sedang bergosip ria sambil sesekali melirik ke arah meja mereka. Shilla sudah siap membela Via, tapi Ify datang dan mendahuluinya.

“stop! Ntar kalo lo pada ribut, keenakan anak IB dapat tontonan gratis.” Ucapnya sambil menaruh nampan berisi 1 mangkok bakso, 1 gelas es jeruk dan 3 bungkus yupi diatas meja dan duduk didepan Via. Shilla, Via dan Agni cengo. Bukan karena 1 mangkok bakso dan 1 gelas es jeruk, tapi lebih kepada 3 bungkus yupi yang Ify bawa. Ify adalah ketua tingkat 2A, kelas paling lebih di bidang akademik. Ify juga ketua OSIS di IG, dengan Via sebagai wakil dan Shilla sebagai bendahara.

“kelaperan lo?” Tanya Agni sambil meraih gelas es jeruk Ify dan meminumnya hingga setengah. Ify diam saja melihat tingkah Agni. Sudah biasa baginya.

“dari semalam gue belum makan,” jawab Ify sekenanya. Sesaat mereka sudah tenggelam dalam kegiatan masing-masing. Shilla dan Via yang sedang bercerita satu sama lain, Ify yang sedang makan dan Agni yang sibuk mencomot makanan Ify.

“Kak Ify, kakak dipanggil Bu Ira disuruh ke ruangannya. Kak Via, kak Shilla sama kak Agni juga.” Lapor Keke adik kelas mereka.

“gue juga?” Tanya Agni ragu dengan menunjuk dirinya sendiri. Keke mengangguk sebagai jawaban. Sejak kapan gue masuk OSIS? Kok ikutan dipanggil? Batin Agni.

“ya udah, Ke. Ntar kita-kita ke ruang Bu Ira. Thanks ya!” sahut Ify kemudian. Keke pamit dan melenggang pergi meninggalkan kantin.

***

Tok…tok…tok… Ify mengetuk pintu rungan Bu Ira.

“iya masuk!”

Ify, Via masuk disusul Shilla, Agni dibelakangnya. “Ibu manggil kita?” tanya Ify.

“iya-iya, ayo duduk!” Bu Ira mempersilahkan mereka duduk.

Mereka berempat masuk kedalam ruangan Bu Ira yang kelihatan berantakan. Berkas-berkas berhamburan diatas meja dan lembaran-lembaran bertebaran dibawah lantai. Pasti disuruh beres-beres! Batin mereka.

“Ibu mau tanya pendapat kalian,”

“Eh! Pendapat Bu?” tanya Agni meyakinkan.

“iya, pendapat kalian! Makanya duduk dulu.” Ternyata Ify dan yang lain masih berdiri saking asiknya memperhatikan ruangan Bu Ira.

“eh iya, Bu!” Shilla duduk duluan di susul Agni, Ify dan Via.

“ pendapat apa, Bu?” tanya Ify langsung.

Ibu Ira menghela nafas panjang. “sekolah kita akan kedatangan tamu besar bulan depan. Orang yang paling berperan serta dalam perkembangan IG dan IB.”

“IB, Bu?” Via meyakinkan apa yang didengarnya. Ibu Ira menggangguk.

“jadi maksud ibu apa, manggil kita kesini?” Agni mulai nggak sabar.

“ibu mau untuk sekarang dan sampai tamu besar kita pergi. IB dan IG berdamai dulu!”

“damai?”

“sekarang?”

“kenapa?”

“ada apa, Bu?”

“maksudnya?”

“gimana caranya?”

“harus kah?”

 “buat apa, Bu?”

Pertanyaan beruntun keluar dari Ify, Via, Shilla dan Agni. Ibu Ira lagi-lagi menghela nafas berat, susah sepertinya kalo harus menjelaskan dari awal.

“intinya ibu mau kalian sekarang ke IB dan meminta persetujuan untuk berdamai!” tegas Bu Ira.

“tapi kenap…”

“harus!! Sekarang juga kalian ke IB! ibu yakin kalian akan diterima dengan baik disana. IB tentu juga membutuhkan perdamaian ini.”

Ify dkk cengo kemudian gantian Ify dan yang lain yang menghela nafas. Kaget sama binggung jadi satu dan menghasilkan tanda tanya besar.  “okelah, Bu!” sahut Shilla mewakili yang lain.

“tapi, Bu! Saya kan nggak ada urusan di OSIS kok saya ikutan ke IB?” Agni berusaha mengelak. Ify, Via dan Shilla langsung mendelik ke Agni. “lah? Iya kan gue nggak ada urusan?” Agni masih berusaha ngeles. Dia kan bukan anggota inti OSIS kayak Ify, Via sama Shilla. Kok ikutan juga?

“semuanya pergi! Sekarang!!” usir Bu Ira keras.

Dengan gontai Ify, Via, Shilla dan Agni keluar dari ruangan Bu Ira. Keempatnya lemas seakan belum makan seminggu setelah diluar.  Lebih-lebih Agni, dia yang paling lemas buat pergi ke IB.

“gue nggak ikut yah? Pliss!” rengek Agni.

“nggak!!”

“ayolah,”

“harus ikut!”

“kasihani gue!” pinta Agni melas.

“emang kenapa sih? Lo sampe segitunya?” tanya Ify binggung.

Agni menghentikan langkahnya. Dia memandang Ify penuh harap. “panjang ceritanya,”

“gue dengerin! Cepet cerita!” perintah Ify.

“Fy-Fy!” Via menoel-noel bahu Ify. Ify nggak mengubris panggilan Via. “Ify!”

“apa sih, Via?”

“ituu,” Via nunjuk Shilla yang lagi bengong sendiri.

“ini anak kenapa lagi?” Ify melambai-lambaikan tangannya didepan muka Shilla.

“mampus gue!!” pekik Shilla histeris. Ify terlonjak kaget. “mati gue, Ag! Lo sih, coba jangan cari gara-gara!” Shilla mendekat dan mengoyang-goyangkan badan Agni kuat.

“apaan sih?” Via binggung.

“pokoknya gue nggak mau ikut!” seru Shilla.

“gue apalagi!!” timpal Agni.

***

 “lo bawa Shilla aja deh, Fy! Muka gue paling di inget nih! Pasti ntar mereka bakal ngebales gue! Gue sama aja bunuh diri kalo masuk ke IB.”

“nggak peduli!!”

“loh, Ag! Kok lo malah nyerahin gue sih? Kan lo yang bikin ribut. Gue Cuma ketiban sialnya sekarang!” sewot Shilla.

Ify sudah mendengar kisah yang lalu-lalu dari Agni-Shilla. Parah memang! Tapi Ify nggak mau tau. Dia tetap nyeret Agni buat ikut ke IB. Shilla juga mau nggak mau harus ngikut.

Mereka pergi ke IB saat bel tanda belajar dimulai. Jadi mungkin yang melihat mereka datang hanya sedikit. Ify nggak mau ambil resiko buat jadi artis dadakan yang langsung di sorakin pas masuk ke halaman IB. juga buat ngurangi resiko kalo-kalo ada anak IB yang mau balas dendam sama Agni-Shilla.

“yang mana ruang kepseknya?” bisik Ify pada Via. Via mengedikan bahunya tanda nggak tau.

“itu kali!” Shilla menunjuk sebuah pintu yang berbeda warna dari pintu-pintu yang lain.

“ayo!” Ify menarik tangan Agni mendekat ke pintu itu. “ketok!!” perintah Ify.

“kok gue? Via aja!”

“ketok!!”

Agni mengganguk pasrah. Tok…tok…tok… Agni mengetuk pintu itu. Terdengar suara dari dalam sedang membukakan kunci pintu, sampai akhirnya pintu terbuka.

“lo!! ngapain lo disini?!” Cakka menyambut sengit kedatangan Agni dan menatap tajam Ify, Shilla, Via yang ada dibelakang Agni.

“wooy! Nyantai aja kale!! Gue kesini mau ketemu kepsek lo!” nyolot Agni kembali kumat.

“kenapa, Kka?” Iyel datang menanyai Cakka.

“nih! Cewek-cewek nggak tau malu mau ketemu Pak Duta!”

“heh jelek! Siapa yang lo bilang nggak tau malu?” tanya Ify sengit.

“heh! Siapa yang lo bilang jelek?”

“ya elo yang jelek!”

“elo nggak tau malu!”

Ify-Cakka saling menghujat, Iyel ngecoba buat nengahin, Shilla benggong ngeliatin Iyel, Via binggung mau ngapain dan Agni diam menonton semuanya.

“ada apa nih?” Rio datang di ikuti Alvin.

“tuh, cowok jelek sama cewek nggak tau malu lagi berantem.” Jawab Agni asal. Ify-Cakka menghentikan acara mereka dan menatap Agni geram.

“maksud lo?!” keduanya bersamaan kemudian lanjut saling menghujat.

“terus itu?” Rio menunjuk Shilla yang masih benggong ngeliatin Iyel.

“kesurupan,” Agni berlalu meninggalkan semuanya.

“Agni ikut!” Via mengejar dan menyusul Agni.

***

“setuju nggak?”

Ify memastikan persetujuan damai sementara antara IB dan IG. Mereka sedang berada diruang OSIS IB sekarang. Ternyata ruangan yang tadi Shilla sangka ruang kepsek adalah ruang OSIS dan kebetulan kepsek IB lagi nggak ada ditempat jadi diskusi sama anggota OSISnya aja. Dari pihak IB terlihat sedang membicarakan penawaran dari IG.

“terima aja, kan Pak Duta juga ada rencana mau damai sementara.” Usul Iyel.

“tapi kita kasih syarat dulu, boleh dong?” Cakka berinisiatif.

“lo mau ngapain, Kka? tanya Rio penasaran. Cakka tersenyum sok misterius.

“menurut lo, Vin?” tanya Iyel pada Alvin.

“gue terserah,”

Cakka langsung bangkit berdiri dan mendatangi perwakilan IG. “Kita bakal setuju dengan acara damai ini, tapi dengan syarat.” Cakka tersenyum miring. “lo semua harus nurutin apa mau kita, sekarang dan selama tamu itu masih ada disekolah! Gimana?”

“aa…”

“Apa!!” pekik Shilla paling nyaring.

“nggak bisa gitu!”

“IB kan juga butuh perjanjian ini?” Via membantah persyarat Cakka.

“siapa bilang IB butuh?” Iyel mulai ikut bermain dalam permainan yang dibuat Cakka.

“IB dan IG berhubungan, jelas IB butuh perjanjian ini!” jelas Via.

“kalo IB dan IG berhubungan kenapa? Selama IG butuh, belum tentu IB juga butuh!” Alvin menimpali.

“ya sudah kalo nggak butuh! Ayo pergi!” Agni emosi dan langsung narik tangan Shilla, Via keluar dari ruangan itu. “ayo, Fy!” ajaknya pada Ify yang masih mematung di sana.

“nggak bisa, Ag!” perkataan Ify menghentikan langkah Agni. “oke! Kita bakal turutin semua mau lo, sekarang dan selama tamu-tamu itu masih ada disekolah!” tegas Ify.

“kok?”

“oke kalo gitu, silahkan pilih siapa yang mau kalian turuti.” Sambung Iyel.

Ify, Shilla, Via dan Agni menatap bergantian cowok-cowok yang ada dihadapan mereka. Males banget dah! Tampang boleh oke tapi perilakunya nggak sesuai sama tampang. Detik demi detik berlalu menjadi menit. Dan… ting!!

“gue mau dia!” ucap Ify, Shilla, Via, Agni bersamaan.

Mereka masing-masing menunjuk kesatu orang dan yang beruntung di tunjuk mereka adalah… Alvin?!

“eh! Satu-satu! Masa Cuma mau sama Alvin doang?” cegah Rio.

“yeee! Suka-suka kita dong!” sahut Shilla sewot.

Agni menoel-noel bahu Shilla. “kenapa lo kagak nunjuk Iyel?” bisik Agni.

Shilla melotot ke Agni lalu cengengesan. “malu!”

Melihat bisik-bisik Shilla-Agni dan diam-diaman Via-Ify. Cakka juga mulai berdiskusi dengan teman-temannya.

“lo pada mau yang mana?” tanya Cakka.

“gue yang pendiem itu!” Rio menunjuk kearah Via.

“oke-oke! Kalo lo, Yel?”

“gue yang suka benggong aja!” Iyel menunjuk Shilla.

“oke kalo gitu gue…”

“gue yang tomboy itu!” potong Alvin tiba-tiba.

“nggak-nggak gue yang itu! Gue mau balas dendam sama tuh cewek atas perbuatannya ke Ray!”

“nggak mau tau!” tolak Alvin mentah-mentah.

“aelah, Vin! Tumben lo nggak jawab terserah?” sambung Iyel.

“terserah gue!” balas Alvin cuek.

“ya udah lah!” Rio menengahi. “heh! Cewek-cewek! Kita-kita sudah mutuskan. Lo sama Iyel!” tunjuk Rio pada Shilla.

“gue?” Shilla masih nggak percaya. Beruntung banget gue bisa sama Iyel!! Histeria batin Shilla.

“iya, lo sama Iyel! Dan lo sama Alvin!” sekarang Rio nunjuk Agni.

Agni manggut-manggut. Lega rasanya dapat cowok yang nggak banyak cing-cong kayak Alvin.

“lo sama gue!” Rio tersenyum manis pada Via. Via membalas senyuman Rio, tapi senyum pait.

“dan lo sama Cakk…”

“ogah gue sama tukang becak!” potong Ify.

“heh! Lo pikir gue mau sama lo?!” sahut Cakka sengit.

“pikir aja sendiri! Jelek!”

“lo yang jelek!” balas Cakka.

“jelekan lo!”

“lo apa lagi!”

***


Selasa, 01 November 2011

Boys vs Girls : A. Perang !!


 “heh! Cowok belagu! Apa maksud lo ngelempar teman gue?!” teriak seorang cewek. Sekarang sudah jam istirahat, kantin yang sedang penuh sesak anak-anak kelaparan menjadi gempar dengan teriakan cewek itu.

Cowok yang diteriaki tersenyum meremehkan. “gue Ray, bukan cowok belagu! Lagian gue kan ngelempar temen lo, Cha! Bukan lo, kok lo yang sewot sih? Eh iya, siapa nama temen lo itu? Bajunya kok hitam sih?” jawab Ray yang disambut gelak tawa siswa IB.

Nggak ada rasa bersalah sama sekali pada jawabannya. Padahal hal yang dilakukan Ray itu sudah sangat kelewatan. Dia melemparkan balon berisi air pada temannya Acha dan tentu saja membuat temannya itu basah. Tapi parahnya lagi air itu bukan air biasa. Air itu bewarna hitam! Entah air apa?

Jawaban cowok itu kontan membangkitkan rasa solideritas siswi IG. Semua siswi IG berteriak menghujat Ray, tapi ternyata hujatan siswi IG juga membangkitkan rasa solideritas siswa IB yang akhirnya terjadi perang saling menghujat.

Riuh suara teriakan dikantin mendatangkan banyak siswa-siswi dari masing-masing sekolah untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata bukan hanya untuk melihat, mereka juga ikut memperamai acara saling hujat!

“stop!!” teriak salah satu siswi IG. Dia merangsek maju menuju ketengah-tengah, pembatas antara IB dan IG area. Di ikuti beberapa orang dibelakangnya. Teriakan cewek itu membuat perang mulut berhenti seketika.

Cewek itu menghela nafas dan membalikan badannya menatap Acha yang berdiri di belakangnya. “kenapa?” Tanya cewek itu. Tapi kemudian padangan cewek itu beralih kearah cewek yang samping Acha.

“dia ngelempar Keke pake balon air, Kak! Dan airnya warna hitam!”

Cewek itu kembali berbalik dan menghadap siswa-siswa IB yang ada didepannya. Perlahan cewek itu melangkah maju hingga melewati batas area IG dan masuk kedalam area IB. suara tidak terima siswa IB kembali berkumandang, tapi nggak dihiraukan sama sekali.

“siapa yang ngelempar?”

“gue!” Ray langsung berdiri dari bangkunya dan menghadap cewek itu.

“kenalin gue Agni, gue ketua kelas tingkat 2F. gue…”

“gue nggak butuh nama lo, Kak Agni!” potong Ray dengan menekankan kata Kak pada jawabannya.

Agni tersenyum. “lo adik kelas aja belagu. Gue kasih tahu nama gue bukan karena gua mau temenan sama lo. gue cuma mau lo inget nama gue dan mikir ribuan kali kalo mau cari gara-gara sama anak IG.” Tangan Agni meraih sebotol minuman soda dari atas meja terdekat.

Ray sudah was-was akan terjadi sesuatu pada dirinya. Agni membuka tutup minuman itu dan meminumnya. Diam-diam Ray menarik nafas lega. Nggak jadi bocor kepala gue. Batinnya.

Belum ada setengah Agni meminum minumanya, dia menutup lubang botol dengan jempolnya dan menguncang-guncangkannya.

“sssrruuttt,” suara muncratan air soda yang keluar dari dalam botol dan mengenai baju Ray. Agni tersenyum menatap Ray yang shock didepannya. Agni sengaja memilih minuman soda berwarna merah agar meninggalkan noda yang terang.

“ingat nama gue. A-G-N-I, Agni!”

Agni berbalik meninggalkan Ray yang masih shock ditempat. Siswa-siswa IB hanya diam menyaksikan teman mereka dipermalukan, sedangkan siswi-siswi IG tersenyum penuh kemenangan. Perginya Agni dari kantin disusul siswi-siswi lain, ternyata bel tanda istirahat berakhir sudah berbunyi. Satu persatu siswi-siswi IG menghilang dari kantin.

***

“brengsek!! Sialan tuh cewek! Mentang-mentang kakak kelas seenaknya aja dia malu-maluin gue!!” Ray membanting pintu kamarnya. Dia masih keingat sama kejadian tadi, “Agni! Bakal gue inget sampe mati tuh nama!!”

“kenapa lo Ray? Pulang-pulang udah kayak orang gila!” seorang cowok masuk kedalam kamar Ray dan duduk disampingnya. Ray nggak menjawab, dia malah sibuk mengacak-acak rambutnya.

“lo gila beneran, Ray?” tanya cowok itu lagi.

“gue disiram soda sama anak IG yang namanya A…”

“hah! Lo disiram soda? Kok bisa? Anak IG, cewek donk?! Lo kalah sama cewek Ray?” Tanya cowok itu beruntun.

Ray menatap tajam cowok itu. “mending lo keluar deh, Kka! Lo bikin gue tambah gila!” Ray mengusir Cakka kakaknya dengan sangat tidak hormat.

***

“kenapa lo?” Agni membuyarkan lamunan seorang cewek.

“Ify sama Via rapat lagi?” tanya cewek itu. Agni mengangguk dan cewek itu pun mendengus. “padahal ada yang mau gue omongin.” Ujarnya lemas.

“sama gue aja kenapa?”

“oke!” Shilla mengambil nafas terlebih dahulu. “Gue kemaren ke butik langganan gue dan gue ngeliat ada gaun cantik banget warna pink. Pake pita ter…”

“stop!!” potong Agni cepat sebelum Shilla melanjutkan lebih lanjut. “Lo tunggu Via aja deh! Ntar kalo dia balik.” Ujar Agni cengengesan.

Shilla mendengus kesal melihat tingkah Agni. “tadi suruh cerita!” sungut Shilla.

“nggak jadi kalo masalah baju, lo cari yang lain aja! ogah, gue ngomongin baju!”

Agni kembali berkutat dengan hape yang dipegangnya sedangkan Shilla menopang dagunya diatas meja.

“Ag, Ag!” Shilla mengoyang-goyangkan tangan Agni yang aktif mencet tombol-tombol hape.

“apaan? Ganggu aja lo! kalo gue kalah, lo harus traktir gue seminggu!” omel Agni. Dia mempause permainanya dan menoleh ke Shilla.

Shilla langsung mengarahkan kepala Agni pada tujuan matanya. Beberapa cowok keren masuk dan duduk dikantin IB area. “cakep ya?” gumam Shilla pelan. Agni menggerutkan keningnya. Jatuh cinta rupanya! Batin Agni.

“yang mana, Shill?”

Shilla memandang tanpa kedip cowok-cowok yang baru masuk kedalam kantin itu dan duduknya dekat pembatas antara IB dan IG jadi dengan leluasa Shilla menatap wajah cowok itu.

“itu, yang ditengah cowok gondrong sama sipit!”

“Iyel maksud lo?”

“hah?!” Shilla melotot ke Agni.

“biasa aja kale!! Itu cowok namanya Iyel, ketosnya IB!” terang Agni. Shilla manggut-manggut.

“duduk disana yuk!” ajak Agni tiba-tiba dan langsung narik tangan Shilla menuju meja yang berdekatan dengan cowok-cowok itu. Meja yang Agni duduki tepat berada disamping meja cowok-cowok itu, tapi tentu aja masih IG area.

“Agni ngapain pindah kesini?” desis Shilla. Dia malu setengah mati diliatin cowok-cowok itu saat pindah tempat duduk disamping mereka. Agni tersenyum sok misterius ke Shilla.

“eh! Ngapain tuh cewek 2 duduk dideket sini?” tanya cowok berstyle harajuku.

“mau kenalan kali!” sahut cowok yang hitam manis.

“biarin lah! Mereka kan masih diwilayah IG, jadi suka-suka mereka mau duduk dimana!” jelas cowok yang di tunjuk Shilla tadi. Iyel!

Ray yang sedari tadi diam mendengar perbincangan kakak-kakak kelasnya. Dia tahu banget tujuan kedua cewek itu mendekat ke meja mereka. Lebih tepatnya tujuan cewek yang bernama Agni.

“eh, Ray! Tuh, cewek kenapa senyum-senyum ngeliatin lo?” tanya cowok yang sipit.

“nggak tau gue, naksir kali!” kata Ray asal.

“itu kan Agni! Ketua basket IG?! Suka sama lo Ray?” seru Cakka nggak percaya. Ray mendengus keras.

“apaan sih lo, Kka? Dia itu cewek yang kemaren numpahin soda ke baju gue!”

“hhaahhh!!!” semua rombongan cowok itu mengangakan mulutnya, kecuali Ray.

“yang bener lo Ray? Wah kurang ajar tuh cewek! Berani-beraninya ngerjai adek gue.” Cakka emosi dan mengebrak mejanya.

“sabar bro! cewek tuh!” Rio mencoba menenangkan, tapi telat Cakka sudah terlanjur berdiri dan mendekati meja Agni dan Shilla. Bahkan sudah melewati IB area alias Cakka sudah masuk ke dalam IG area.

Siswi IG area heboh sendiri melihat cowok-cowok cakep mendatangi IG area. Bukan heboh karena pelanggaran yang dibuat cowok-cowok IB itu, tapi lebih ke heboh ngeliat cowok cakep.

Cakka mendekati Agni dan Shilla, disusul teman-temannya yang lain.

“kenapa?” tanya Agni santai. Tapi nggak Shilla yang ada disamping Agni. Dia udah kayak cacing ketabur garam.

Cakka menatap tajam Agni dan Shilla bergantian. Ray memperhatikan kakaknya diam, tapi dalam hati Ray pengen banget Cakka mempermalukan Agni kayak Agni mempermalukan Ray kemaren.

“eh! Lo yang kemaren kan? Masih ingat nama gue?” Agni mengalihkan pandangannya tersenyum pada Ray.

Ray menunduk. Berkali-kali Ray mengumpat ketua tim basket IG itu. Nggak puas banget bikin gue malu!! Batinnya. Sisiwi-siswi IG yang menonton ikut tertawa kecil mengingat kejadian kemaren. Adik sang ketua tim basket IB dipermalukan oleh kapten tim basket IG.

Alvin menatap sinis cewek-cewek IG yang tertawa sambil berbisik dan ajaib cewek-cewek IG itu langsung diam.

“Shill, ayo cabut! Gue nggak mau dikeroyok cowok-cowok ini! Takutnya mereka kalah semua!” Agni mengejek cowok-cowok IB itu tapi dengan berbisik ke Shilla. Jadi cowok-cowok itu nggak denger deh!

Agni berdiri, di ikuti Shilla. Mereka mengangkat dagu tinggi-tinggi seolah menantang, tapi sebenarnya Agni sedang mengejek cowok-cowok itu sedangkan Shilla cuma ngikutin Agni biar keren.

“oke!” Agni menunjuk cowok-cowok yang ada didepannya. Mulai dari Rio, Iyel, Ray, Cakka dan terakhir Alvin. “kita cabut dulu ya!”

Agni dan Shilla langsung ngibrit lari sambil ketawa puas. Nggak peduli teriakan Cakka mengumpat sambil memanggil-manggil nama Agni. Cewek-cewek IG yang menonton kejadian langka itu kembali tertawa kecil dan berbisik-bisik ria.

“gila lo, Ag!!” seru Shilla. Shilla memegangi perutnya yang sakit karena lari-lari sambil ketawa.

Mereka duduk lesehan didepan perpustakaan sambil terus tertawa. Sudah nunjuk-nunjuk kayak siap ngajak kelahi. Eh, nggak taunya malah ngibrit nggak jelas kayak tadi.

“seenggaknya, gebetan lo bakal ingat sama lo, Shill!” kata Agni cengengesan.

Shilla mendorong pelan pundak Agni. “iya-iya, gue bakal dia ingat seumur hidup!” timpal Shilla dan mereka kembali tertawa terbahak-bahak. Keras dan puas hari ini mereka tertawa.

***