Minggu, 01 Mei 2011

Musical Heart : Alvia #1

Alvin memeluk Via dengan erat. Via akan pergi meninggalkan Alvin untuk melanjutkan sekolahnya di Ausie. Mereka berpacaran sudah 1 tahun semenjak awal mereka bertemu dan ternyata satu sekolah. Mereka berpelukan lama di bandara. Orang-orang yang berlalu-lalang tersenyum kecil menyaksikan keduannya.


“jangan nakal ya, Vi!” bisik Alvin dengan masih memeluk Via erat. Via menguraikan pelukan Alvin dan menatap Alvin tajam.

“yang jangan nakal itu kamu! Jangan tergoda sama cewek-cewek lain!” ujar Via sewot.

Alvin memperhatikan wajah manis Via yang sedang manyun semanyun-manyunnya. Tanpa di sadari Alvin tersenyum miris. Dia akan kehilangan Via sebentar lagi. Kehilangan senyum dan semua tentang Via. Via menyadari perubahan raut wajah Alvin. Perlahan Via maju dan mengelus wajah Alvin.

“Vin, aku percaya kok sama kamu! Kamu percaya sama aku ya? Aku bakal balik lagi dan aku balik untuk kamu!” kata Via pelan. Alvin mendengar dengan jelas semua kata-kata yang keluar dari bibir Via. Alvin tersenyum dan kembali memeluk Via.

“aku juga percaya sama kamu, Vi! Kamu harus balik demi aku.”

“iyyaa, Alvin ku!!”

Mereka kembali berpelukan dengan lama sampai akhirnya panggilan atas penumpang pesawat menuju Ausie di panggil. Alvin melepaskan pelukannya dan menatap Via sendu. Alvin mengurai poni Via dan mengecup keningnya.

“pesawat kamu,” ujar Alvin lemas. Via tersenyum menatap Alvin.

 Sebenarnya ada rasa nggak tega meninggalkan Alvin, tapi sekolah Via ke Ausie adalah keinginan terbesarnya saat ini. Walaupun berat meninggalkan Alvin. Via beranjak pergi. Alvin menatap punggung Via sedih. Pergi sudah! Alvin menunduk, menghela nafas berkali-kali.

“Vin?!” Alvin menggangkat kepalanya. Via berlari kembali padanya dan memeluk Alvin erat. “ingat janji kamu ya!” kata Via. Via mengecup pipi Alvin kemudian berbalik pergi. Kali ini benar-benar pergi.

***

Via tersenyum kecil memperhatikan foto-fotonya dengan Alvin saat di Indonesia dulu. Foto mereka berdua dengan pose Alvin yang manyun dan Via yang tersenyum lebar. Masih teringat jelas bagi Via, kenapa Alvin manyun dan dirinya tersenyum.

Via tersenyum sendiri mengingat semuanya. Dimana Alvin pertama bertemu dengannya, pertama Alvin menyatakan cintanya, pertama Alvin mencium pipinya dan terakhir pertama kalinya Alvin memohon Via untuk tetap tinggal bersamanya.

Senyum Via kini disertai tetesan air yang mengalir dipipinya. Senyum akan bahagia yang dulu sempat dia alami dan sekarang air mata kehilangan akan rasa rindu yang amat sangat pada Alvin. Masih 3 bulan lagi, menunggu sekolah Via akan libur dan tepat hari pertama libur Via sudah memutuskan untuk balik ke Indonesia untuk menemui Alvin.

Masih 3 bulan, bukan waktu yang lama mungkin. Semoga! Alvin, tunggu aku ya? Aku percaya sama kamu! Via mengelus foto Alvin untuk mengurangi rasa rindunya, tapi nggak ngefek sama sekali. Malah membuat butiran bening dipipi Via semakin gencar membasahi pipinya.

“aku sayang kamu,”

Via memejamkan matanya setelah kalimat terakhir yang dia ucapkan. Rasa rindu begitu menyiksa bagi Via. sudah 2 minggu ini Alvin nggak menghubungi Via. Alvin sempat menyampaikan kalo mungkin beberapa minggu kedepan dirinya nggak bisa menghubungi Via karena tugas Alvin yang menjadi ketos disekolah, mengurusi semua kelangsungan acara pendaftaran sampe MOS dan kemah anak baru kelas 1.

***

Berlalu sudah 3 bulan. Via sudah berada di Indonesia sekarang, tanpa diketahui siapa-siapa Via balik ke Jakarta. Via ingin memberikan kejutan pada Alvin pada semuanya. Sahabat-sahabatnya juga keluarganya. Bukannya pulang dulu mengistirahatkan badannya yang terombang-ambing diudara selama beberapa jam. Via malah menyuruh sopir taksi yang dikendarainya menuju alamat rumah Alvin. Rasa kangen sudah meluap-luap di rongga dada Via membuatnya nggak sabar bertemu sang kekasih.

Taksi berhenti tepat didepan pagar rumah Alvin. Via turun dengan senyum mengembang pada wajahnya. Bagaimana reaksi Alvin sudah terpampang jelas dipikiran Via. taksi yang Via tumpangi tadi dia suruh untuk tetap menunggu.

Via mengetuk pintu rumah besar itu dan sesaat kemudian terdengar suara bukaan kunci dari dalam. Pintu terbuka lebar dan sesosok perempuan tua memandang Via heran.

“maaf, cari siapa?” tanya ibu itu. Via tersenyum kecil. Sebegitu berubah kah dia? Sampe-sampe bibi pembantu Alvin ini nggak mengenalinya lagi

“saya Via, bi!” ujar Via mengingatkan sang bibi. Bibi tampak berpikir sebentar sampe akhirnya mempersilahkan Via masuk.

Via memasuki ruang tamu rumah Alvin. Nggak ada yang berubah dari sini. Masih seperti yang dulu dan semoga Alvin juga masih seperti yang dulu. Bibi nggak henti-hentinya berkomentar dengan penampilan Via yang sekarang. Via kadang tersipu terus-terusan dipuji seperti itu.

“non Via, mau minum apa?” tanya bibi kemudian.

“saya minta air putih aja, bi. Haus!” jawab Via cengengesan. Bibi menggangguk dan tersenyum kecil. Sepeninggal bibi Via kembali memperhatikan detail-detail ruang tamu Alvin. Bener-bener nggak ada yang berubah

Via mencermati setiap bingkai-bingkai foto yang terpajang apik diruang tamu. Foto Alvin kecil sampe remaja sekarang, foto Alvin dengan keluarganya, dengan teman-temannya dan terakhir dengan dirinya. Via memperhatikan foto dirinya dan Alvin. Foto ini diambil jauh sebelum mereka jadian. Kenapa Alvin majang yang ini?

Pandangan Via tiba-tiba terarah pada 1 bingkai foto yang terletak nggak jauh darinya. Via tampak mengenal bingkai itu. bingkai keemasan dengan hiasan bintang disekitarnya, itu pemberiannya dulu. Tapi bukan bingkai yang menjadi perhatian Via, melainkan fotonya. Foto itu diisi Alvin dengan seorang cewek. Cewek yang Alvin peluk mesra dari belakang.

“ini non, minumnya!” kedatangan bibi membuyarkan lamunan Via.

“ini siapa, bi?” Via menunjuk foto Alvin dengan seorang cewek yang tadi dilihatnya. Menunggu jawaban bibi seakan menunggu letusan bom atom pada gunung berapi. Menunggu detik demi detik menanti penjelasan.

“itu non Zeva, pacar den Alvin!”

Dunia Via serasa berbalik. Kepalanya pusing seakan nggak terima penjelasan bibi tadi. Bom didalam gunung berapi tadi meledak dasyat dan menghancurkan segalanya, termasuk hati dan perasaan Via. Alvin belum pulang saat ini. Mungkin masih ada urusan disekolahnya. Via berinisiatif untuk pulang sebelum Alvin tau keberadaannya.

“saya pamit, bi! Ditelpon mama disuruh pulang!” pamit Via seraya langsung pergi keluar rumah.

Bibi terlihat binggung dengan sikap Via. mata Via yang memerah dan suaranya yang parau tambah membuat bibi binggung, tapi nggak bisa berbuat apa-apa minuman yang di bawa sang bibi pun di abaikan begitu saja.

Air mata Via menetes. Kepercayaannya percuma! Alvin nggak menghargai kepercayaannya. Melangkah keluar dari rumah Alvin seakan menjadi perjalanan panjang bagi Via. sakit terasa diseluruh badannya. Kecewa membuat dia nggak bisa berpikir apa-apa.

“Via?!” pekik tertahan seorang cowok membuat Via menghentikan langkahnya dan mengangkat kepalanya yang tadinya tertunduk menyembunyikan air mata.

Via memandang orang itu dengan tatapan yang susah diartikan. Alvin! Didepannya kini ada Alvin yang juga memandangnya kaget! Alvin nggak sendiri. Dia menggandeng seorang cewek. Cewek yang ada difoto tadi.

Via tersenyum. Senyum yang sangat miris seperti menertawakan diri sendiri dalam hati. Setelah memberi senyuman yang disertai aliran air mata. Via kembali melangkah keluar masuk kedalam taksi dan pergi pulang kerumahnya. Alvin masih terpaku dengan apa yang tadi dilihatnya. Via?!

Alvin melepaskan gandengannya dari cewek itu dan langsung menghambur keluar. Terlambat! Taksi itu telah berjalan menjauh, membawa gadis manis dengan hati hancur dan kecewa.

***

Siapa yang salah? Via atau Alvin kah? Salah Via, kalo dia meninggalkan Alvin? Atau salah Alvin, yang sudah membohongi Via?

Via nggak henti-hentinya menangis. Sebegitu sakit yang dia rasakan saat ini. Sepulang dari rumah Alvin tadi Via nggak langsung pulang. Dia meminta supir taksi membawa mobilnya menuju taman komplek rumah Alvin. Taman ini tempat dimana Via ketemu Alvin pertama kalinya.

“kenapa,Vin? Kenapa?” Via mulai terisak histeris setibanya ditaman. Taman sedang sepi saat ini. Hanya beberapa anak kecil yang bermain dengan sesekali menoleh kearah Via yang menangis dan bergumam sendiri.

“kakak kenapa?” seorang gadis kecil menghampiri Via. cepat-cepat Via menghapus air matanya dan tersenyum memandang gadis itu.

“nggak pa-pa kok. Kelilipan!” kening gadis kecil itu mengkerut tanda binggung. Via tertawa kecil menyaksikan raut wajah gadis itu. seenggaknya Via sedikit terlupakan dengan apa yang dia tangisi tadi. “nama kamu siapa?” tanya Via kemudian.

Gadis itu membalas senyum Via dan mengulurkan tangannya. “aku Ourel, kak! Kalo kakak?”

“nama kakak Via!” Via menyambut uluran tangan Ourel.

Hanya butuh waktu 5 menit untuk berkenalan. Sekarang Via sudah akrab sekali dengan teman-teman Ourel dan Ourel sendiri. Kalo sejenak Via renungkan. Via senang bisa ketemu Ourel, tapi saat ini dia bertemu dengan Ourel karena kebohongan Alvin.

“Ourel, ayo pulang!” Seorang cowok menghampiri mereka dan menaikan Ourel dalam pelukannya.

“masih mau main!” rengek Ourel pada cowok itu. Via kembali tersenyum melihat tingkah Ourel. Ingin rasanya punya adik seperti Ourel.

“Ourel pulang aja ya? Udah sore. Besok baru main lagi. Tuh! Temannya udah pulangan, masa Ourel mau main sendiri?” bujuk Via pada Ourel yang sudah menggembung-gembungkan mulut kecilnya.

“kan ada kakak!” sahut Ourel.

“Ourel nggak boleh maksa.” Cegah cowok itu. cowok itu mengalihkan pandangannya kearah Via yang tepat didepannya. Tatapan biasa tapi seakan bertanya lo siapa?

Via yang seakan ngerti arti tatapan itu langsung-langsung mengenalkan dirinya. “Via!”

Cowok itu tersenyum simpul. Cewek didepannya ini ternyata mengerti. “Dayat!”

Tanpa bersalaman dan berbincang lebih lanjut mereka seakan sudah kenal dan akrab banget. Walaupun hanya dalam diam. Via merasa nyaman dengan Dayat. Mereka sempat bertatapan sampe akhirnya tersenyum gaje lalu menunduk.

“katanya mau pulang?” Ourel mengambek dikacangi. Via dan Dayat terkekeh melihat tingkah Ourel.

“kalo gitu, gue balik duluan ya?” ujar Dayat kemudian. Dia dan Ourel melangkah pergi keluar taman komplek. Ourel melambai-lambaikan tangannya pada Via tanda perpisahan. Via membalas lambaian dengan senyum kecil.

“gue bisa lupa sama lo saat gue sama-sama Ourel dan Dayat! Ini jawaban dari penghianatan yang gue alami. Lo dapat yang baru, kenapa gue nggak?” gumam Via hingga akhirnya pergi meninggalkan taman komplek.

***

Liburan Via hanya sebulan di Indonesia dan dia sudah menghabiskan 2 minggu hanya untuk merenungkan nasib hubungannya dengan Alvin. Alvin berkali-kali menghubungi Via dan datang ke rumahnya, tapi Via malas banget ngomong atau ketemu Alvin. Rasa sakit itu masih ada.

Via bersiap untuk jalan hari ini bersama Dayat dan Ourel. Dayat dan Via sempat bertemu beberapa hari yang lalu. Saling tukar nomor telpon dan berjanji untuk bertemu. Mereka janjian disebuah FoodCourt yang lumayan dekat dari rumah Via. nggak dekat juga, tapi Via ingin berjalan kaki sekalian menikmati minggu-minggu terakhirnya di sini.

Hubungannya dengan Alvin? Via sendiri binggung. Dia benar-benar ingin mengakhiri semuanya, tapi masih cinta melandanya. Benar-benar rumit semuanya. Zeva? Cewek itu bisa menaklukan Alvin. Mungkin kah Zeva lebih pantas bersama Alvin dari pada dirinya? Zeva dekat sedangkan Via jauh.

FoodCourt sudah ada didepan mata. Via tersenyum karna sudah sampai tanpa terasa. Mungkin karna melamun makanya nggak sadar. Senyum Via seketika memudar. Apa sebenarnya maksud Alvin? Berkali-kali Alvin kerumahnya, berkali-kali Alvin menelponnya dan berkali-kali Alvin mengsmsnya hanya untuk meminta maaf, tapi sama sekali nggak ada tindakan atas kata maaf itu.

Alvin berjalan sambil tertawa ceria dengan Zeva. Berjalan kearah Via. mereka nggak tau ada Via. air mata Via tumpah dari tempatnya. Sakit dan perih kini menyiksanya. Bisakah dia menghadapi semuanya? Via mengusap air matanya. Haruskah dia menangis jika Alvin bahagia?

“Vin?!” panggil Via pada Alvin yang sudah ada didepannya. Seperti biasa reaksi Alvin kaget luar biasa. Via tersenyum kecil walau air matanya kembali tumpah. “kita putus aja ya?” lanjut Via.

Alvin memandang Via nggak percaya. Kata putus Via seakan menjadi permintaan atas ketidak sanggupan. “Vi, biarin aku ngejelasin!” Alvin menggenggam tangan Via berharap dapat mengulur jawaban atas kata putus.

Via menggeleng. Senyum masih terlukis diwajahnya. Sakit dan perih tambah menyiksa saat dia didekat Alvin. “gue sayang sama lo, Vin! Sayang banget.” Pelan Via melepaskan genggaman Alvin pada tangannya.

Via melanjutkan langkahnya melewati Alvin Zeva. Tatapan Alvin mengikuti Via yang menjauh darinya. Seakan nggak mau kehilangan Via untuk kedua kalinya. Alvin mengejar Via dan memeluknya dari belakang. Erat. Via terkejut. Biarkan dia melepaskan rasa rindunya pada Alvin. Biarkan dia merasakan Alvin untuk yang terakhir kalinya.

“Vi, aku…” Via melepas pelukan Alvin. Nggak membiarkan Alvin ngomong apa-apa lagi padanya. Via memperhatikan Zeva dibelakang Alvin. Perlahan Via mundur beberapa langkah dan berbalik pergi. Setelah beberapa langkah Via berbalik dan tersenyum tulus. Kali ini dia yakin meninggalkan Alvin pada orang yang tepat.

Alvin merasa bersalah pada Via. senyum itu senyum pasrah kehilangan Via untuknya. Alvin diam menatap punggung Via yang menghilang kedalam FoodCourt. Haruskah dikejar? Haruskah Via merasakan sakit itu lagi jika Alvin berani mengejarnya?

Alvin tercekat. Tubuhnya menegang dia tau siapa orangnya. Zeva, Zeva memeluknya dari belakang dan Via menyaksikan semuanya dengan senyuman tulus tanda perpisahan.

***

Karna ku sanggup walau ku tak mau
Berdiri sendiri tanpa mu
Ku mau kau tak usah ragu
Tinggalkan aku kalau memang harus begitu
Tak perlu kau buat aku mengerti
Tersenyum lah karna ku sanggup
( Karna Ku Sanggup – Agnes Monica )

 ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar