Bagaikan…
Saat semua tak tertampung lagi dan terlanjur meluap…
Di sini dia, dan begini memang nasipnya. Seorang Alvin Jonathan. Mencintai yang mungkin seharusnya nggak dia cintai. Gadis bernama Via Azizah. Mencintai seorang gadis yang sebenarnya sudah ada yang memiliki. Miliknya, Gabriel Damanik.
Awal mula rasa sakit itu melanda saat dirinya nggak pernah di anggap ada…
“pagi sayang?” Iyel, sapaan untuk Gabriel Damanik menyapa seorang gadis dan langsung-langsung memeluknya dari belakang.
Gadis itu, Via Azizah tersenyum manis lalu mengurai pelukan kekasihnya. “pagi juga.” balasnya lembut seperti biasa.
Sungguh pemandangan yang menyakitkan mata sekaligus hati miliknya. Hati seorang Alvin Jonathan. Sadar akan cinta tak sampainya yang memang nggak akan pernah kesampaian. Dia menyerah untuk berjuang. Berjuang…?
Mencintai dan berharap di cintai, namun nggak bisa…
“… di dalam sel darah merah terdapat zat warna darah yang di sebut…”
“hemoglobin atau Hb.” Semua mata memperhatikan siapa yang mengucapkannya. Dia, Via. Memotong penjelasan Bu Ira dan dengan semangat melanjutkan penjelasannya. “itu sebabnya darah berwarna merah.”
Penjelasan singkat yang membuat Bu Ira memberi nilai tambahan untuk muridnya yang satu itu. Alvin, tersenyum tipis sambil memperhatikan gadis idamannya itu lekat-lekat. Biarpun nggak dapat memiliki, seenggaknya nggak ada larangan untuk memperhatikan.
Terus tersenyum dan tentunya nggak berhenti memperhatikan pelajaran. Bagi Alvin, Via dan ilmu sama pentingnya. Tanpa keduanya, Alvin merasa bodoh! Senyum masih menghiasi wajah Via saat perlahan Via menoleh dan tatapannya bertemu dengan Alvin.
Sungguh indah Tuhan menciptakan mahluknya yang satu itu. Via tersenyum manis pada Alvin dan dengan senyum kaku Alvin membalasnya. Dia grogi, tepatnya meragukan pada siapa sebenarnya Via tersenyum.
“semangat amat, Vi. Belajar darah-darah gini. Jangan-jangan Lo keturunan Vampir ya?” celetuk salah seorang dengan nyaring. Sion, dia yang mengatakannya. “seneng minum darah!”
Kelas mulai ribut, menyorak pada Sion yang asal mengatakan hal yang nyatanya nggak mungkin memang. Sedangkan Via? Dia lagi-lagi tersenyum. Memperlihatkan mata sipitnya yang tambah menyipit juga senyum manis miliknya pada semua orang.
“gue bukannya seneng darah, atau pun keturunan Vampir kayak dugaan Lo itu.” jelas Via mengklarifikasikan. “gue semangat soalnya darah warna merah, warna kesukaan gue.”
Saat waktu mulai mengubah kepribadian seseorang…
***
Berjuang?...
“hai, Vi?” memberanikan diri menyapa gadis itu dan tersenyum padanya. Via membalas senyumnya dan melambai kecil pada Alvin. Hanya dengan itu, nggak ada yang tau betapa bahagianya hati Alvin.
Pelajaran menjahit adalah pelajaran kesukaan seorang Alvin. Menjahit? Hanya saat di pelajaran menjahit Alvin bisa dekat, terlebih sangat dekat dengan Via. Alvin dan Via menjadi pasangan saat pelajaran menjahit berlangsung.
“… pagi ini kita akan belajar membuat taplak meja. Ibu harap setiap pasangan bekerja sama dalam membuatnya. Kerapian serta kombinasi warna sangat Ibu nilai disini…”
Alvin sama sekali nggak peduli dengan semua penjelasan Bu Winda. Menjahit sama sekali bukan ilmu penting baginya, yang terpenting dia bisa sangat dekat dengan Via dan saat itu adalah momen berharga antara dirinya dan Via.
“aduh!” Via merintih saat tanpa sengaja jarum jahit menusuk jarinya. Hanya setetes kecil yang keluar, tapi mata Via sudah berkaca-kaca di buatnya.
Alvin yang tadinya tiada henti memperhatikan Via, sudah pasti melihat setiap detik kejadiannya dan dengan sigap menarik tangan kanan Via. Refleks membersihkan darah Via dengan mengemut jari manisnya yang tertusuk tadi.
Sedikit terperangah sebentar saat kemudian Alvin berhenti membersihkan dan cepat-cepat melepaskan tangan Via.
“sorry,” ucap Alvin pelan seakan sudah berlaku kurang ajar pada Via. Via menggeleng sebagai jawaban, tapi Alvin nggak melihatnya dan masih merasa bersalah. “aku nggak maksud…”
“makasih ya, jadi nggak sakit lagi.”
Alvin mengangkat sedikit wajahnya, memandangi wajah cantik Via yang tersenyum manis padanya. Seakan mendapat angin segar saat mengetahui Via nggak marah padanya dan malah berterima kasih juga memberinya seulas senyum termanis.
Menjahit di lanjutkan, Via menjahit dan Alvin yang sesekali membantu, dan selebihnya Alvin kembali memperhatikan Via. Wajah cantiknya tetap cantik saat dia melakukan apa saja. Tersenyum, marah juga serius. Via bener-bener cantik!
“Vin, ambilin kain biru itu dong. Sama yang merah.” Via membuyarkan lamunan Alvin dan menunjuk meja yang berisi kain di sebelah Alvin.
Alvin masih memperhatikan Via dengan ragu lalu berjalan menuju meja berisi kain yang tadi di tunjuk Via. Biru dan merah? Merah, pasti karena merah warna kesukaannya. Alvin memandang setiap kain yang ada di meja, merasa kurang yakin dengan warna dan langsung mengambil kain yang terang sesuai matanya.
Entah mengapa wajah cantik itu selalu mampu membuatnya terpaku di setiap saat berdekatan dengan sang pemilik wajah itu, Via. Wajah cantik dengan mata indah juga senyum manis milik seorang Via. Hanya seorang Via yang bisa.
“kok berdiri di situ aja, Vin? Kainnya mana?” suara lembut Via membuyarkan lamunan Alvin tentangnya.
Alvin mendekati Via dan dengan sedikit ragu meletakan kain yang di ambilnya ke atas meja dan dengan canggung kembali duduk di sebelah Via. Sedikit curi-curi pandang dan kemudian lagi-lagi asik memperhatikan tiap lekuk wajah Via.
Via akan menjahit kain yang di ambil Alvin tadi, saat yang Via lihat bukanlah kain seperti yang dia minta tadi. Alvin mengambil biru dan hijau. Raut wajah Via berubah kecewa, di pikirnya Alvin nggak menyetujui warna merah kesukaannya berpadu dengan warna biru yang di pilihnya.
“Vin?” ragu-ragu Via memanggil dan Alvin pun kembali tergagap di buatnya. Alvin menegakan posisi tubuhnya dan memandang Via. “kamu nggak setuju kita pake warna merah?”
Alvin tercekat. Dia salah ambil kain. Alvin sungguh menyesali hidupnya. Dia kini membuat gadis yang dia cintai kecewa. “bukan maksud ku, Vi! Aku tadi ngambil sembarangan aja. bentar ya, aku tukar dulu.” Alvin beranjak dan menarik kain yang untungnya berwarna hijau untuk diganti dengan yang merah.
Merutuki diri sendiri atas kebodohan yang di buatnya dan langsung saja membuat gadis itu kecewa…
***
Saat cinta rela melakukan apa saja…
“jadi Lo buta warna?” suara shock seseorang memaksa Alvin untuk membekap mulutnya. Melepaskan bekapannya sesaat kemudian orang yang di bekapnya mengangguk dengan tatap mata penuh pengertian.
“gue cinta dia, tapi…” Alvin menghela nafasnya berat seakan ini sangat menyakitkan untuknya. “tapi gue bahkan nggak tau gimana warna kesukaannya dan di hari ini tadi gue udah sekali bikin dia kecewa.” Alvin putus asa dengan kebutaannya atas warna.
“terus sekarang maunya gimana? Gue belum pernah dengar buta warna bisa di sembuhkan.” Jawab seorang gadis yang berada di sebelah Alvin saat ini, gadis itu Agni Nubuwati. Sesekali Agni menyeruput coklat panas miliknya sambil berpikir keras mencari jalan permasalahan Alvin.
Alvin menunduk penuh penyesalan. Bukan menyesal atas butanya dia akan warna, tapi lebih kepada menyesal karena telah membuat Via kecewa. Hal kecil memang, tapi sekecil apa pun masalah itu, kalo sudah berhubungan dengan Via. Alvin menganggap hal itu lebih penting dari pada kiamat di hari esok.
“minta maaf?”
Alvin mengangkat kepala dan menatap Agni mengiba. “apa itu cukup?”
Agni berdecak. Alvin benar-benar menganggap Via sebagai prioritas pertama dalam hidupnya. “emangnya nggak cukup?” tanya Agni sebaliknya.
Alvin menggeleng lemah. Pikirannya buntu jika dia memikirkan Via. Gadis sipit yang memiliki senyum manis seorang bidadari. Menelungkupkan kepalanya di atas meja dan mengerang tertahan tanda frustasi.
“gue ada ide!!”
Mencintainya dan akan rela memberikan apa pun untuknya…
***
Gadis itu menyendiri di sana, jauh di balik pohon sana. Tubuhnya bergetar juga terdengar isakan kecil darinya, gadis itu menangis. Via, dia menangis. Rasa cemburu menderanya saat melihat Iyel menggandeng mesra sahabatnya, Alyssa Saufika.
Meski Iyel sudah menjelaskan bahwa dirinya dengan Ify, sapaan akrap seorang Alyssa Saufika, tidak ada apa-apa namun entah, Via seakan menutup dirinya. Tak ingin mendengar penjelasan apa-apa dari Iyel.
“cepet!”
“gue nggak berani.”
“jangan cemen!”
“gue nggak mau ngecewain dia lagi.”
“Lo…”
Masih dengan Via yang menangis di balik pohon sana dan jauh di belakang Via ada dua orang yang sibuk berdebat di balik semak-semak dekat pohon yang lain. Memperdebatkan antara mendekat atau tidaknya seorang Alvin menuju Via.
“kalo Lo nggak mau biar gue yang ngedatangin dia.” Agni akan mendatangi Via saat Alvin mencegahnya dan menarik Agni agar kembali bersembunyi di balik semak.
Alvin menghela nafas pelan. “oke!” hanya berkata begitu, Alvin kemudian datang menghampiri Via.
Dalam diam Alvin mendekat pada Via lalu duduk di sebelahnya, Via sedikit tersentak saat mengetahui ada seseorang di sebelahnya dan dengan cepat mengusap air mata yang tadinya mengalir lancar di wajah cantiknya.
“nggak pa-pa, nangis aja.” ujar Alvin tanpa sama sekali menoleh pada Via.
Via menoleh sekilas untuk melihat siapa di sebelahnya. “siapa yang nangis?” elak Via bohong, suara serta keadaannya mengatakan hal yang sebenarnya dan Via memang menangis.
Entah sadar atau tidak, Alvin tiba-tiba refleks merangkul Via dan membimbingnya bersender pada bahu Alvin. Via diam saja dan nggak menolak saat Alvin membawanya bersender pada bahu Alvin, Via mengikut saja dan nyaman saat Alvin berada di dekatnya.
Ku mencintainya namun dia tak mencintai ku…
***
Sakit itu kembali melanda dan aku terluka…
Alvin berteriak sekencang-kencangnya. Hatinya saat ini seakan teriris oleh siluet-siluet bayangan Via yang memeluk Iyel. Mungkin sudah biasa bagi Alvin melihat Via yang memeluk dan dipeluk Iyel, namun… mengertikah Tuhan kalo Alvin butuh waktu untuk bersama Via lebih lama?
Iyel datang tepat di hadapan keduanya saat Via mulai kembali terisak. Rasa kecewa Via saat itu sangat besar terhadap Iyel dan Alvin tau. Bagi Alvin nggak cukup untuk Via jika sekedar meminta maaf agar rasa kecewa itu terhapuskan, namun ternyata sebaliknya bagi Via sendiri…
“maaf.”
Hanya dengan berkata itu Iyel langsung mendekap Via dalam pelukannya dan… Alvin kembali terluka.
“besok, di lantai paling atas gedung sekolah?” Alvin bergumam mengingat rencana yang dia rencanakan dengan Agni. Rencana yang indah tapi dengan tujuan yang sederhana. Agar Via tau Alvin mencintainya dan selepas dari itu? entah lah.
Sehabis berteriak sekencang-kencangnya di dalam kamarnya yang Alvin sendiri nggak tau apa warnanya. Alvin mengambil kunci mobilnya dan menuju gedung sekolahnya kemudian untuk melaksanakan rencana Alvin untuk Via nanti malam.
Dia berusaha dan akan menerima upahnya…
***
Aku telah berusaha dan ku harap kau menyukainya…
Alvin menyusun semuanya dengan puas. Senyumnya mengembang sangat lebar. Ini karyanya dan untuk gadis kecintaannya. Di lantai paling atas gedung sekolahnya, selama seharian penuh Alvin menyusun ribuan tangkai mawar untuk seorang Via menjadi bentuk hati.
Langit menjelang gelap saat Alvin kelelahan dan tidur terlentang di tengah-tengah rangkaian mawar yang di bentuknya. Memandang langit yang berwarna abu-abu di matanya dan entah mengapa malah membuatnya kembali tersenyum lebar.
“Via?”
Ya, hanya seorang Via yang mampu membuat Alvin mengeluarkan senyum menawannya. Alvin membayangkan wajah Via saat di memandang kelangit luas. Wajah cantik Via di sertai senyum manis milik gadis itu.
Tinggal menunggu waktu dan…
***
“gimana Boss? Bunganya ada?”
“ada, tapi…”
“oke! Lo kirim ke sekolah gue sekarang di gedung serba guna!”
Tutt… Ttut… Tuut…
Orang itu begitu saja memutuskan telfonnya tanpa memikirkan apa sebenarnya yang ingin orang di seberang sana katakan. Pikirannya penuh kebahagiaan. Dia akan jujur dan semua akan berakhir bahagia. Harapannya.
Sementara itu dengan orang di seberang sana. Mereka adalah toko penjual bunga dan orang yang tadi menelpon mereka meminta di kirimkan begitu banyak mawar merah ke gedung sebuah sekolah.
“Alvin minta di kirimkan bunga mawar merah ke gedung sekolah.”
“iya Lo kirim dong, tuh sebucket sudah ada di situ.”
“iya kalo itu orang belinya sebucket. Dia mau nya satu mobil, yang banyak!”
“mawar merah?”
“iya,”
“Alvin tau dari mana mawar merah? Maksud gue warna merah?”
Seringaian licik di belakang Alvin membuat takdir Alvin atas cintanya berubah jalur…
***
Aku mencintai mu dan aku tak butuh jawaban mu…
Via bersiap berangkat menuju sekolah, sekarang ini sudah menjelang malam saat Via harus ke sekolah dan menemani beberapa anak yang memang melakukan ekskul malam-malam begini. Via menjadi koordinator.
Sebuah pesan singkat menghampiri hape Via setibanya Via di sekolah. Nomor nggak di kenal yang menyuruhnya ke lantai paling atas geduang sekolah?
“paling iseng,” Via bergumam demikian sampai akhirnya pesan singkat kedua datang dan bertuliskan hal yang sama namun kali ini di sertai nama pengirimnya. Alvin?
Seulas senyum tipis entah mengapa langsung terukir di wajah cantik Via. Alvin?
Jauh di atas sana Alvin hampir berteriak menyorak saat Via masuk ke dalam gedung sekolah. Dugaannya untuk menuju lantai paling atas dan menemuinya dan memberinya kesempatan untuk berbicara bahwa Alvin cinta Via! Tak butuh balasan, hanya ingin Via tau bahwa Alvin mencintainya.
Dan memang benar Via datang untuk menemui Alvin. Alvin sedari tadi sudah mematikan lampu di sekitar mawar yang di susunnya. Sebagai kejutan untuk Via dan setelahnya Alvin akan mengungkapkan perasaannya. Hanya mengungkapkan, tanpa meminta jawaban.
“kenapa, Vin?” Via tiba dan langsung menghampiri Alvin yang tak jauh darinya. Berdiri di hadapan Alvin dan tersenyum manis padanya.
“aku…” ucapan Alvin terputus saat terdengar di antara keduanya ringtone hape milik Via.
“hallo… aku di gedung sekolah… nanti aku ke lapangan… iya, sekarang aku kelapangan… iya Gabriel sayang!”
Alvin merasa ada yang menusuk hatinya saat ini ‘sayang’ Alvin seakan nggak terima panggilan itu untuk orang lain selain dirinya, tapi ini kenyataannya. Via bukan miliknya dan bukan haknya untuk tidak terima.
“aku harus ke lapangan sekarang, Vin!” Via berbalik dengan cepat dan dengan cepat pula Alvin mencegahnya. “kenapa?”
Alvin tersenyum tipis untuk Via. “sebentar aja, untuk kali ini aja dan aku nggak akan minta apa-apa lagi.” Alvin mengucapkan serangkaian kata-kata yang tak di mengerti Via.
“maksud…”
Via terperangah saat tiba-tiba tempat Alvin dan Via yang tadinya gelap langsung berubah terang benderang dan begitu banyak mawar di hadapannya dan kalo di lihat-lihat bentuk… hati?
“Alvin? Ini…”
“ini buat kamu,” Alvin menarik tangan Via menuju ke tengah-tengah rangkaian mawar itu namun tiba-tiba saja Via menarik tangannya cepat dari Alvin. Mata Via memerah dan berkaca-kaca entah apa sebabnya. “Vi?”
“sorry, Vin! Aku nggak suka mawar putih!!”
Kali ini Alvin yang terperangah. Mawar putih?! Via langsung-langsung meninggalkan Alvin tanpa membiarkan Alvin mengucapkan sebuah penjelasan untuk ini semua. Alvin sungguh tak bermaksud membuat Via kecewa namun sayang ini yang kedua kalinya.
Alvin meraih setangkai mawar putih yang ada di dekatnya. Mawar yang di pegangnya ini, mawar yang di kiranya mawar merah, mawar merah sebagai tanda maaf juga pengungkapan perasaan ternyata bukan mawar merah, melainkan mawar putih?!!
Dan harus dia akui, dia membenci pada kebutaannya akan warna! Dan dia membenci Tuhan, yang seperti enggan untuk membiarkan perjalanan cintanya lancar untuk kali ini saja! Kali ini saja! Hari ini saja!!
Haruskah ku lakukan agar kau bahagia juga kecewa lagi pada ku?
***
Perih ku rasa saat semua terlambat sudah…
Via nggak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Jika ingin jujur sebenarnya, dia mencintai Alvin! Sangat mencintai Alvin. Tapi… terlambat! Alvin mendekatinya pada saat Iyel datang dan saat Iyel-Via mulai menjalin hubungan mereka. Alvin terlambat!
Airmata seakan berlomba untuk turun dan membasahi wajah cantiknya. Gadis itu kecewa! Kecewa untuk yang kedua kalinya!
Ringtone hape Via kembali berdering dan membuat Via menghentikan langkahnya saat itu juga lalu mengusap airmatanya. Ini, ini nomor yang tadi di pake Alvin?
“hallo?”
“please, Vi! Naik ke lantai atas, aku mohon. Untuk kali ini aja, aku mohon!” suara Alvin mengiba, memohon pada Via. “Vi? Via, aku minta maaf!”
Dari hape-nya Via mendengar jelas sekali seperti ada suara bantingan di sana. Via panik, perasaannya tiba-tiba terasa aneh, dingin juga seakan tercekat. Via berlari secepat yang dia bisa kembali menuju lantai atas.
Via membuka pintu tak sabaran dan membantingnya keras! Dan… gelap?
Lampu yang tadinya terang benderang mati dan gelap.
“Vin, Alvin?” Via hanya bisa memanggil-manggil nama Alvin dari tempat dia berdiri sekarang ini.
Perlahan kakinya mulai melangkah seakan memasuki kegelapan. Dengan tangan yang meraba-raba sekitar berharap menemukan saklar lampu dan berharap juga dapat menemukan Alvin. Dan… dapat!!
Angin berhembus kencang saat Via akan menekan saklar tersebut. Mengurai rambut Via dari indra penglihatannya, seakan ingin Via melihat jelas apa yang ada di depannya nanti! Lampu berkedap-kedip awalnya sampai kemudian terang!!
“ALVIIN!!” Via histeris dan langsung menghampur pada Alvin. “Vin, Alvin?” Via kembali memanggil nama Alvin dan mengguncang tubuhnya.
Alvin terkapar bersimbah darah di tengah-tengah rangkaian mawarnya. Via berusaha kuat menahan airmatanya dan mencoba menyadarkan Alvin walau nyatanya tak kan bisa.
Alvin tak bereaksi, Alvin masih saja tergeletak dan hape-nya juga ikut tergeletak di sebelahnya. Dengan genangan darah di sekitarnya? Genangan itu semakin banyak saat perhatian mulai beralih kesana dan dari pergelangan tangan Alvin lah sumbernya!
Tangis Via pecah setelah mati-matian di tahannya. “Alvin…” Via bergumam lirih sambil mengangkat kepala Alvin pada pangkuannya. “aku mohon, Vin!” Via mengusap rambut Alvin lalu meraih tangan kanan Alvin yang nggak hentinya mengeluarkan darah.
Hape Alvin bergetar di tengah-tengah genangan darah. Via meraihnya dan melihat fotonya yang menjadi wallpaper di sana. Sebuah notes? Notes yang sudah Alvin beri alarm.
‘Ku ingin Kau tau Aku mencintai Mu dan ingin Ku harapkan Kau berperasaan sama dengan Ku. Aku tak butuh jawaban Mu walau sebenarnya Aku memang butuh. Maaf telah membuat Mu kecewa, namun asal Kau tau. Aku mencintai Mu dan sampai kapan pun hanya Kamu’
Tangis Via tambah kencang di buatnya. Angin juga mulai berhembus kencang di setiap tetes airmata Via yang terjatuh di wajah Alvin. “Alvin, aku juga cinta kamu. Cinta!” Via mengusap wajah Alvin yang memucat dan mulai dingin.
Darah masih saja mengalir dari tangan Alvin tanpa bisa Via hentikan. “Alvin!! Aku mohon!! Bangun!!” Via berteriak histeris pada raga Alvin yang tak bernyawa. Alvin pergi.
“Via?” Iyel datang dan berdiri jauh di ambang pintu sana.
Via mengangkat wajahnya yang berlinangan airmata kemudian mengangkat tangannya isyarat agar Iyel tak mendekatinya. Iyel menurut tanpa bicara maupun menolong. Iyel tau jelas Alvin telah tiada. Keadaan di sekitarnya sudah cukup menjelaskan bagaimana kondisi Alvin saat ini.
“Vin, bangun. Aku juga cinta sama kamu, Vin!” Via berbisik lirih nggak terima dengan kenyataan hidupnya. Mengapa terlambat?!!
Via mengedarkan pandangannya mencari apa saja yang bisa dia buat menghentikan pendarahan Alvin. Menghentikan darah yang terus mengalir dari pergelangan Alvin. Apa saja!! Tapi bukan benda apa pun yang Via dapatkan, melainkan bukti, bukti…
“Aku juga cinta Kamu, Vin! Selamanya cuma Kamu!”
Malam itu mendung, tapi tak kunjung turun hujan. Via masih setia menemani Alvin dengan duduk di tengah-tengah rangkaian mawar yang tadinya di persembahkan Alvin. Mawar persembahan Alvin yang awalnya putih namun sekarang berwarna merah… Merah darah!
Ini kisah mereka, bagaikan kisah ‘Setangkai Mawar dan Seekor Merpati’…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar